Budhe Gun
Begitu Aro memanggilnya. Nama
lengkapnya Gunarti. Berperawakan kecil, bersanggul, sering berkebaya, memakai
kaca mata, dan kalau berbicara halus dengan logat Jawanya yang khas.
Awal berkenalan, Aro tidak
terlalu nyaman. Meski Budhe Gun ramah dan baik juga senang mengajaknya bermain,
Aro tetap tak mau dekat-dekat. Memilih menggulung dirinya di balik saya.
“Aku tidak tahu Budhe Gun
berbicara apa, Nda”, katanya berbisik-bisik.
“Iya, bahasa Jawa Budhe Gun
berbeda ya ?” dia mengiyakan. Sebenarnya Aro cukup familiar dengan bahasa Jawa
meski tidak menggunakannya dalam keseharian. Kakek nenek juga saudara lain di
Kediri hampir semua berbahasa Jawa. Namun dialek yang berbeda membuatnya
bingung. Dia memilih berjarak dan tidak
bereaksi. Saya pun tidak mendesaknya.
Itu dua tahun yang lalu. Kali pertama kami
mengajaknya ke sebuah desa di Pegunungan Kendeng Utara, tempat Ayah bekerja.
Pekerjaan yang aneh sebenarnya karena hanya duduk-duduk, mengobrol, dan ngobrol
sampai larut malam.
Dalam setahun, dua sampai
empat kali kami berkunjung. Menginap barang satu atau dua minggu. “Rutinitas”
yang membuat Aro lambat laun mulai akrab dengan lingkungan yang ada. Orang-orangnya,
suasananya, juga aktivitasnya.
Tidak ada harapan muluk-muluk
mengajaknya ke desa ini. Kami hanya ingin memperlihatkan ragam masyarakat saja.
Di sana kami membaur, mengikuti ritme yang ada. Desa yang sering kami kunjungi
ini bukanlah desa adat. Namun, penduduknya kebanyakan penganut ajaran Samin
yang biasa kami sebut sebagai sedulur
sikep. Budhe Gun juga sedulur sikep.
Tahun ini adalah tahun ke
dua Aro mengakrabi mereka. Temannya sudah banyak, baik yang dewasa atau
anak-anak. Dia pun tidak lendotan dengan
saya lagi. Setiap kali datang, tidak menunggu lama sudah lari keluar. Ikut
bermain dengan anak-anak setempat di pelataran rumah Budhe Gun.
Pelataran yang sekaligus
digunakan sebagai bak’an (tempat
menjemur padi atau jagung). Bila musim panen, pelataran itu akan penuh dengan
biji jagung atau bulir padi yang dijemur. Bila musim tanam, tempat itu menjadi
sarana bermain yang menyenangkan. Bermain apa saja. Bersepeda, berlarian,
menerbangkan layang-layang, petak umpet, sampai jual beli. Pagi sampai sore nyaris
Aro berada di luar. Sampai legam terbakar sinar matahari dan kuyup oleh
keringat.
Mereka bisa bermain apa saja
sepanjang hari sebab tidak bersekolah formal. Meski begitu, bukan berarti
anak-anak sedulur sikep ini tidak
belajar. Ada satu hari dimana anak-anak sedulur sikep berkumpul belajar membaca,
menulis, nembang, dan mendengar pitutur. Saya akan menceritakannya di
waktu yang lain tentang ini.
Setiap ke sana, kami
menginap di rumah penduduk. Berganti-ganti. Seringnya di rumah
Budhe Gun.
Belajar beradaptasi dengan segala kondisi dan budaya serta hal-hal yang berbeda
ternyata perlu kerja keras. Terutama untuk saya dan Aro.
Sebagai contoh untuk makan. Selama
di sana, kami makan makanan yang sama dengan yang dimakan tuan rumah. Menerima
dan memakan semuanya apapun yang dihidangkan di meja tanpa komplain (apalagi menuntut
ada appetizer atau bahkan puding
sebagai penutup, memangnya warung hehehehe). Menerima. Kata sederhana yang
ternyata untuk beberapa situasi perlu latihan.
Pengalaman berharga bagi
saya dan Aro. Belajar beradaptasi dan menjadi manusia. Dari awal yang merasa
tak nyaman sampai kerasan hehehehe.
Petualangan ke rumah Budhe Gun selalu menjadi pengalaman menarik.. Aro sering
mengikuti Budhe Gun kemana-mana. Bertanya ini itu, kadang tertarik membantu,
tak jarang hanya berlarian kesana kemari. Budhe Gun sendiri terlihat biasa
saja. Tidak terganggu dan selalu menjawab pertanyaan yang keluar dari bocah lima tahunan itu meski pun pertanyaannya melompat-lompat.
Bahasa yang mereka gunakan
campuran, antara bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa sudah
tidak merisaukannya lagi meski banyak ucapan Budhe Gun yang tidak dia pahami. Dia
merasa nyaman karena Budhe Gun mengerti. Mau mendengarkan, menjawab, dan
mengerti ucapannya tanpa mengkritik, terganggu, atau mengkoreksi kata-katanya
yang kadang masih belepotan.
Perasaan nyaman itu pula
yang membuat Aro percaya dan membuka diri. Pagi-pagi sekali, dia ikut Budhe
Gunarti ke kandang sapi. Membuka kandang dan mengeluarkan ayam-ayamnya, memberi
minum sapi, membersihkan kotoran, kemudian mengangkutnya ke luar memakai
gerobak sorong. Kotoran sapi itu ditumpuk di tempat yang agak jauh untuk
kemudian dibiarkan sampai membusuk menjadi pupuk.
Sesekali Aro ikut melongok
ke arah sapi-sapi yang melenguh-lenguh itu. Mencoba memberinya seonggok tebon (pohon jagung) dan menyentuh
dahinya. Dia sudah tidak takut seperti awal melihatnya dulu.
Dari kandang, aktivitas
selanjutnya biasanya ke sawah atau ke pasar. Dengan anak laki-lakinya yang
berusia delapan tahunan, Budhe Gun akan mengajak Aro pula. Bertiga mereka
berjalan kaki atau naik motor.
Diam-diam, saya kagum dengan
sikap Budhe Gun. Dia tahu bagaimana membangun perasaan nyaman dan menjalin
kepercayaan dalam berkomunikasi dengan anak tanpa membuat mereka merasa
dipermalukan.
Saya bisa memastikan dia
tidak membaca buku “How Children Learn”,
tetapi apa yang dilakukannya sejalan dengan pemikiran John Holt. Anak-anak
memiliki harga diri yang kuat sekaligus rapuh. Sebagai orang dewasa, kita harus
hati-hati jangan sampai menginjak-injaknnya walaupun sebenarnya berniat baik.
Demikian juga dalam berkomunikasi. Ketika seorang dewasa tidak berusaha keras
memahami perkataan seorang anak, maka anak tersebut bisa berkesimpulan kalau
tidak ada gunanya dia berbicara. Memilih diam.
2 Komentar
Perlu kesabaran extra untuk fokus pd omongan anak kecil ... Saya juga perlu belajar lagi tentang Hal ini.
BalasHapushehehehe, terima kasih sudah membaca.
Hapus