Bendera Putih
“Hayat
itu apa sih, Yah?” tanya Aro pada
suatu siang.
“Hayat
itu nyawa.”
“Nyawa
ada di dada ya?”
“Hm…Mengapa
bertanya tentang hayat?” Alih-alih
menjawab pertanyaan tentang nyawa dari anak
berusia lima tahun, saya memilih bertanya balik.
“Itu
lho waktu nyanyi Hari Merdeka kan
ada yang bilang … selama hayat masih dikandung badan,” jelasnya sambil sedikit
bernyanyi. Saya manggut-manggut.
Hari
itu ia berlatih menyanyikan lagu nasional untuk persiapan upacara 17-an. Dari
sekian larik lirik lagu itu ternyata ada pertanyaan yang ia simpan, terutama
untuk kata-kata yang tak dipahaminya. Untuk anak seusianya, mengenal kata atau
istilah baru menjadi tantangan sekaligus rasa keingintahuan. Seperti artikel
yang ditulis Mary Both Monahan, Children
as Language Detective, dituliskan bagaimana antusiasme anak-anak belajar
banyak bahasa. Bahasa bukanlah sesuatu yang terberi (given) dan tak mengalami perubahan. Dari interaksi sosial dan
konsumsi media lah kemudian anak-anak mencerna dan menemukan bahasa mereka
sendiri.
Persoalannya
kemudian orang tuanya hanya dapat mengajarkan bahasa tertentu. Bayangkan jika
anak bisa menguasai banyak bahasa karena keingintahuannya untuk menjadi
“detektif bahasa” terfasilitasi. Akan lahir banyak polyglot – orang yang menguasai banyak bahasa – seperti Sultan Abudrrahman dari Sumenep yang
disebut oleh satu versi sejarah menguasai empat puluh bahasa. Sampai-sampai
Raffles memintanya menterjemahkan kitab berbahasa sansekerta untuk buku History
of Java. Atau juga Karaeng Pattingaloang, pelaut polyglot asal kerajaan Makassar yang menguasai lebih dari tujuh
bahasa.
Biasanya
Aro akan bertanya hal-hal sulit ini ke Bundanya, tapi kok ya ndilalah, siang
itu Saya yang ketiban sampur.
Bagian
sulit menemani anak yang saya sering nyerah
adalah menjelaskan hal-hal rumit padanya. Kebanyakan dari kita, atau minimal
sayalah (kok saya main klaim segala hehehe), biasanya menghardik anak agar tidak
banyak bertanya yang aneh-aneh. Atau daripada ditanya akan melalukan manuver, bertanya
balik seperti yang saya lakukan di atas. Bahasanya kerennya kill the messenger.
Sebenarnya
saya tahu kalau itu cara mendidik yang kurang tepat karena akan mematahkan
semangat ingin tahu anak. Seharusnya orang tua tak hanya sebagai orang tua
karena relasi biologis, tetapi juga selayaknya menjadi teman bagi anak untuk
mengakses dan memahami pengetahuan. Apalagi di zaman ketika arus informasi
begitu deras hari ini. Tak hanya sergapan kata namun juga simbol dan penanda
visual melalui banyak media. Mereka butuh orang tua sebagai teman sekaligus
fasilitator untuk menemani mereka memahami semua itu.
Pandangan
bahwa Ayah yang bekerja di luar rumah dan Ibu yang harus mengurus anak mau tak
mau menjadi lapisan kebudayaan yang membentuk pandangan saya akan posisi Ayah
dan Ibu dalam keluarga.
Padahal tak melulu anak hanya bertanya hal yang rumit pada Ibunya. Seperti yang saya alami siang itu. Biasanya Saya mengibarkan bendera putih saat mendapat pertanyaan sulit atau ask his mom sebagai fasilitas pertolongan. Kali ini Saya tak bisa mengelak. “Nyawa itu…”. Ditulis oleh Sobirin.
1 Komentar
Maklum dlm segi verbal pria kalah dg wanita 😁
BalasHapus