Boleh Bunda Unggah ?
Pertanyaan yang sejak
setahun belakangan saya ajukan kepada Aro saat mau mengunggah gambarnya. Entah
untuk ilustrasi tulisan di blog maupun sekedar ditampilkan di sosial media. Kerap
kali diiyakan meski tidak jarang dia menolak.
Ketika mendengar penolakannya
di awal-awal saya belajar meminta ijin ini, sering kali baper juga. Ada perasaan tidak terima. Ini kan bagus. Fotogenic.
Istragrammable. Lucu. Tidak memalukan. Ekspresinya ngena banget. Waw pokoknya dan sederet kata pembenaran lainnya.
Kekesalan yang mendapat cengiran lebar Si ayah ketika saya madul. ‘Kamu sudah memutuskan untuk
minta ijin saat mengunggah foto, berarti harus siap dengan konsekuensinya.
Dibolehkan atau ditolak. Meminta ijin itu kan
berbeda dengan memberi tahu’. Dhesing! Meskipun kesal, saya jadi terdiam.
Teringat awal keputusan saya terkait mengunggah foto ini.
Saat itu, Aro berusia tiga
tahunan. Sedang senang-senangnya belajar memakai baju sendiri. Pertama dia
belajar memakai celana. Mulai dari semua kaki dimasukkan ke dalam satu lobang
celana sampai celana yang terbalik. Untuk baju pun, hampir sama.
Sebenarnya, saya tidak
secara langsung mengajari. Hanya setiap kali memakaikan baju, saya mengucapkan
semua bagian baju dan bagaimana urutan memakainya. Awalnya, dia hanya
mendengarkan namun lama kelamaan ikut menebak dan mengatakannya kemudian mempraktikkan.
Mencoba memakai sendiri bajunya.
Tak terkira senangnya Aro
ketika berhasil. Saking senangnya,
hampir selama satu minggu dia memamerkan kemampuannya ini. Tidak mau dibantu
meski kerap masih terbalik-balik. Seringkali tidak hanya satu baju yang dia
pakai. Bertumpuk-tumpuk sehingga terlihat lucu sekali. Saya pun tidak bisa
menahan diri untuk tidak memotretnya hahahaha.
Baru akan mengunggahnya di
akun media sosial, Si ayah mengingatkan. Meminta saya membayangkan bagaimana
reaksi Aro lima tahun ke depan melihat fotonya yang terlihat ‘lucu’ itu. Apakah
dia akan senang ? Apakah dia akan marah ? Apakah akan aman untuknya ? Apakah
dia akan malu atau lainnya.
Salah satu hak anak adalah
mendapat perlindungan. Di masa sekarang, perlindungan tidak hanya semata di dunia
nyata namun juga di dunia maya. Betapa kita sebagai orangtua pun harus belajar
menahan diri. Tidak hanya karena menurutkan perasaan, untuk seru-seruan, atau dalih kebersamaan
menjadi tidak jernih.
Jejak digital itu tidak bisa hilang meskipun mungkin kita telah
menghapusnya. Kalau kurang berhati-hati, kita sendiri yang akan repot. Kerap kali, kita tidak
bisa menduga akan sampai dimana persebaran dan siapa saja yang telah
melihatnya. Yang mungkin lucu hari ini, bisa jadi akan mempermalukannya nanti.
Yang kita kira tidak masalah, bisa saja berubah menjadi petaka. Kondisi inilah
yang membuat kami pun belajar tentang digital
literacy.
Untuk sebagian orang,
pilihan meminta ijin ini bisa jadi berlebihan apalagi pada bocah usia lima
tahunan. Menjadi ortu memberi kami banyak kesempatan belajar, termasuk belajar
menghargai dan memanusiakan anak. Memang tubuh mereka kecil. Mereka juga belum
bisa mengontrol dan mempertahankan diri. Namun, mereka juga manusia, bukan
sekedar ‘boneka kesayangan’ atau juga ‘alat peraga pameran’. Mereka bisa marah,
malu, sedih, bahagia, dan bermacam emosi lainnya sama seperti kita.
Apakah ini bentuk kegenitan
saya sebagai orang tua yang mulai tertarik pada digital literacy? Saya pikir tidak. Ini mungkin naluri orang tua
untuk melindungi anaknya. Seperti pengalaman saya minggu lalu ketika menemani
seorang teman dari Jerman bersama anaknya ke sebuah desa di Jawa Tengah. Bagi
orang-orang desa, melihat bule secara live
adalah sebuah pengalaman yang tidak setiap hari mereka dapatkan. Celakanya,
mereka tidak melihat hanya dengan mata kepala namun dengan kamera smartphone. Bisa dibayangkan sedihnya
teman saya melihat anaknya menjadi “obyek” tontonan orang. Belum lagi si anak
yang merasa sangat tidak nyaman dengan situasi itu.
Sebuah kasus di Austria pada
tahun 2016 seperti dilansir banyak media menceritakan bagaimana seorang anak
remaja melaporkan orang tuanya ke pengadilan sebab mengunggah banyak sekali
foto-fotonya di masa kecil di akun sosial media mereka sejak tahun 2009 tanpa
sepengetahuannya. Gadis remaja tersebut merasa dipermalukan sebab kehidupan
pribadinya menjadi konsumsi publik. contohnya.
Terkadang, Aro pun berkeberatan
apabila tingkah polahnya saya rekam atau potret. Meski hanya untuk didokumentasikan secara
pribadi dan tidak diunggah. Saya diminta hadir, melihat saja tanpa gawai. Satu
hal kecil namun sungguh tidak mudah dilakukan. Hadir untuk mereka tanpa
menonjolkan eksistensi kita, ortunya.
Anakmu bukan anakmu
Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan
berasal darimu
Walau bersamamu tetapi bukan milikmu
Curahkanlah kasih sayang tetapi jangan memaksakan pikiranmu
Karena mereka dikarunia pikirannya sendiri
...
-
Kahlil Gibran -
2 Komentar
Super!
BalasHapusWalau tidak tahu akankah sampai pada masaku. Setidaknya ini cukup menginspirasiku untuk membimbing anak _walau hanya di angan_
Terima kasih ya sudah meluangkan waktu mbaca. Kasih resepmu yang ok lah biar semakin semangat hehehehe
Hapus