Efi
“Apa? Efi gundul ? Mengapa ?”
tanya Aro ketika saya memberitahu keputusan teman menggambarnya yang memotong
rambut. Aro terlihat tidak suka saat melihat foto temannya itu di gawai saya. Wajahnya
mendung dan suram. Pertanyaan mengapa disusul ungkapan tidak suka keluar
beberapa kali. Untuk beberapa saat saya diam, memberinya kesempatan
mengekspresikan diri.
“Memang mengapa kalau Efi
potong rambut ?” tanya saya akhirnya.
“Ya aku tidak suka. Efi itu
rambutnya panjang, bukan seperti itu”, jawabnya sambil menunjuk gambar di
gawai. “Aku tidak mau menggambar dengan
Efi lagi, Nda”.
Saya pun mengangguk
mengiyakan dalam diam. Menemaninya yang meringkuk memeluk guling. Saya tahu dia
kaget dengan perubahan penampilan temannya. Aro mengenal Efi dengan rambut
panjang tergerai cukup lama. Melihat temannya tiba-tiba plontos itu pasti memberinya efek kejut juga.
“Nda, mengapa Efi potong
seperti itu ?”
“Gundul maksudnya ?” Aro
mengangguk. “Bunda tidak tahu. Tetapi itu rambut Efi. Dia berhak memotong atau
memanjangkannya”.
“Tetapi aku tidak suka!”
Mendengar ucapan Aro seperti
itu, saya memutuskan untuk mengajaknya berbicara. Tentang otoritas akan
pilihan-pilihan yang dibuat seseorang berkenaan dengan diri mereka. Orang lain
boleh setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, namun ada batas dimana
mereka tidak memiliki andil apa-apa. Tidak boleh juga mengejek, menghina, atau
bahkan memusuhinya. Saya pun mencontohkan bagaimana dia sangat suka es teh dan saya
lebih suka kopi. Kegemaran yang berbeda tersebut tidak membuat kami menjauh
atau pun saling mengejek bahwa teh lebih baik dari kopi.
“Bunda tetap sayang Aro dan
Aro tetap sayang Bunda, bukan ?”
Aro terdiam cukup lama. Sejujurnya
saya tidak terlalu yakin obrolan ini
dipahami olehnya. Saya hanya mencoba dan belajar percaya saja. Namun setelah
terdiam cukup lama, dia meminta izin untuk berbicara dengan temannya itu
langsung melalui whats up dan saya
pun mengijinkan.
Aro pun kemudian berbicara
dengan Efi. Bertanya mengapa potong rambut dan keberatannya berpenampilan plontos. Dia pun sempat beradu argumen
tentang perlu tidaknya memakai topi.
Aro belum bisa menulis atau
membaca, maka komunikasi terjalin dengan cara merekam suara baru dikirim. Efi pun
menjawab dengan cara yang serupa. Saya ada di samping Aro saat itu. Belajar
memilih diam dan menutup mulut rapat-rapat saat mereka sedang berbicara
menemukan titik temu. Menahan diri tidak berkomentar selama “perdebatan” (dan
itu berat sebab ada pilihan kata Aro yang tidak saya setujui). Belajar percaya
bahwa dua teman berbeda usia ini mampu menyelesaikan masalah mereka. Hasil obrolan tersebut menghasilkan kesepakatan
mereka tetap menggambar bersama keesokan harinya.
Meskipun sudah bersepakat
kalau bertemu di taman kota untuk menggambar, ternyata Aro masih belum menerima
“kenyataan”. Dia memang setuju berangkat ke taman. Namun, sesampai di sana, dia
memilih tidak mendekat ke Efi dan bermain-main dengan saya. Saya pun tidak
memaksanya. Walaupun saya tahu sesekali dia melirik temannya yang sedang asyik
membuat sketsa. Saya memilih memberi kesempatan berkompromi dengan perasaannya
sebab kalau pun dipaksa tidak akan membuat keadaan lebih baik. Bukankah anak
hanya akan lancar proses menyerap segala sesuatu bila dia merasa nyaman ?
Bersyukur Efi cukup sabar
dan mau memahami karakter Aro. Dia pun menunggu. Tidak mencoba mengajak menggambar,
menyapa dan berpura-pura tidak ada masalah di antara mereka.
Efi bercerita kepada saya
bagaimana dia pun sempat bingung dan ragu saat berbicara dengan Aro semalam. Perbincangan
yang unik menurutnya. Awalnya, dia hendak mengiyakan saja keinginan Aro yang
meminta memakai topi untuk menyamankannya. Namun, muncul pandangan berbeda. Sesuatu
yang baru pula untuknya. Berdebat dan berbeda pendapat dengan anak usia lima
tahun. Kalau orang lain melihat akan terlihat aneh dan janggal. . Walau begitu,
Efi memandang Aro sebagai pribadi yang setara sehingga dia pun memilih
mengutarakan pendapat apa adanya meski tahu Aro akan merasa tidak nyaman.
Ketika saya bercerita
kepadanya kalau ada di samping Aro selama perbincangan tersebut, Efi agak
terkejut. Saya pun mengatakan bahwa duduk diam tanpa menyela atau menginterupsi
perbincangan mereka semalam adalah sebuah proses saya belajar mengendalikan
diri juga dan itu tidak mudah. Lebih mudah berbicara daripada diam tekun
mendengarkan hehehehe.
Saya pribadi mengapresiasi
keputusan Efi dan berterima kasih mau menemani anak lima tahun ini berproses
mengelola emosinya ketika menghadapi sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginan. Bagaimanapun, tidak bijaksana pula selalu mengiyakan keinginan anak.
Senang pada akhirnya Aro
bisa menerima kenyataan temannya berubah penampilan. Tidak menghujat dan bisa
menerima pilihan orang yang berbeda-beda. Memang perlu waktu dan kesabaran
menunggu. Aro pun mau menggambar bersama Efi.
Selesai dengan kegiatannya
di taman, kami pun menutup perjumpaan dengan makan pizza sekaligus menandai
usianya yang genap lima tahun hari itu. Denting es teh dan kopi menandai sebuah
usia dan petualangan baru akan dimulai kembali. Selamat ya, Nak. Damai di bumi
untuk kita semuanya.
2 Komentar
Aku masih gagal untuk tidak bereaksi terhadap sesuatu yang bagiku tidak benar.
BalasHapusHehehe, terimakasih sudah membaca.
BalasHapus