Keindahan di TIM Kemarin
Kemarin, kami
ke Taman Ismail Marzuki di daerah Cikini. Turun dari stasiun, kami berdua
memutuskan berjalan kaki sebab jarak yang cukup dekat dan cuaca mendukung (mendung).
Di sisi lain, Aro masih terkesan dengan Feronika – seorang anak Pulau Kei Besar
– di buku yang sering dibacanya. Feronika harus berjalan kaki selama 3 jam
untuk sampai ke sekolahnya. Rencananya, bersama teman-teman komunitas Kerlap,
Aro akan ikut salah satu dari rangkaian kegiatan International Woman’s Day, yaitu melukis mural.
Karena
berjalan kaki, banyak hal menjadi pembicaraan. Kami pun sempat bermain petak
umpet di sela pohon-pohon dan juga berhenti pada spot-spot menarik hanya untuk
sekedar berfoto atau melihat lebih dekat.
Sesampainya
di TIM, acara belum dimulai. Teman-teman Kerlap banyak yang masih dalam
perjalanan. Kami kepagian. Akhirnya, iseng mengamati patung pahlawan sekaligus
komponis yang ada di depan taman. Menjawab sebentar pertanyaan Aro dan
ujung-ujungnya kami bernyanyi lagu Rayuan Pulau Kelapa bersama (bukan Rayuan Pulau Palsu lho, kalau itu mah film). Benar kata
orang bahwa menemani anak-anak usia dini tumbuh itu syaratnya tidak jaim, tidak
tergesa-gesa, suka main, suka bernyanyi, dan tertawa.
Di acara
ini, Aro melihat pameran foto dari teman-teman penyandang disalibitas. Saya
memilih tidak mengusik dan mengamati reaksinya. Dia berdiri cukup lama pada
potret para pemain basket yang duduk di kursi roda.
“Keren ya,
Nda. Mereka bisa bermain basket meski di atas kursi roda”, sebuah komentar
pendek tanpa pertanyaan yang saya iyakan dengan anggukan.
Matanya
kemudian tertuju pada foto jalur kuning. “Aku tahu warna ini, ada di stasiun
juga”, katanya dan diiyakan oleh seorang bapak-bapak. Kami menoleh. Bapak itu
memakai tongkat karena hanya memiliki satu kaki.
“Ini jalur
untuk orang buta, Dik. Garis yang lurus tandanya jalan terus dan yang
titik-titik besar ini tandanya berhenti. Sayang, banyak jalur yang berakhir di
tiang atau pohon”, katanya panjang lebar sambil menunjuk contohnya.
“Bisa menabrak
ya ?” Si bapak mengiyakan. Setelah hm... Aro berlari menjauh mengejar
teman-temannya. Setelah mengucap terima kasih, saya pun pamit.
Perjalanan
pagi-pagi dari Depok ke Cikini, membuat saya tidak sempat sarapan. Apalagi
berjalan kaki itu juga ternyata membuat lapar, saudara-saudara. Kebetulan saya
melihat ada satu stand soto surabaya yang sudah buka. Kebetulannya lagi, saya
kangen makan soto dari kota itu. Klop kan? Semesta mendukung saya njajan hehehehe.
Di acara ini
memang banyak saya jumpai orang-orang penyandang disabilitas sebab mengangkat
tema Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia. Tetapi, saya tidak mengira dan cukup
kaget ternyata yang berjualan soto tuli dan bisu.
Sepintas, tidak ada yang
berbeda. Mereka berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Apakah saya bisa bahasa
isyarat ? Bisa, yaitu geleng atau angguk kepala hahahaha (bercanda). Saya tidak
bisa namun ternyata mereka telah mengantisipasi jurang komunikasi ini. Mereka
menunjukkan kertas-kertas kecil berisi paket-paket yang bisa saya pesan. Saya
tinggal tunjuk saja. Sambil menunggu pesanan, saya mengamati bagaimana luwesnya
mereka menggerakkan tangan membentuk banyak kata. Sesaat, sempat terbersit
kalau saya alien sebab babar blas
tidak paham apa yang mereka katakan namun juga merasa sesuatu yang hangat saat
mengetahui keterbatasan pengetahuan saya akan bahasa ini. Bahasa tidak sekedar
yang keluar dari pita suara saja.Kita makhluk dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Aro sempat
takut melihat bagaimana mereka menggunakan bahasa isyarat. Gerakan tangan yang
cepat itu ternyata tidak membuatnya nyaman. Dia diam namun memilih menjauh.
“Aku takut,
Nda. Aku tidak tahu mengapa tangannya bisa cepat begitu”, dan kami pun ngobrol
sebentar. Tentang ragam bahasa yang dia temui seperti bahasa jawa, bahasa
Indonesia, Inggris atau yang lain. Bahasa isyarat juga sama. Tidak diucapkan
namun dengan menggerakkan tangan.
“Seperti
ini, artinya apa ?” tanya saya sambil menyatukan tangan membentuk hati.
“Sayang”.
“Nah, itu
tadi kita memakai bahasa isyarat juga, sama seperti mereka”.
“Hm...
begitu ya ? Tetapi kalau aku takut juga boleh ?” Saya mengangguk. Belajar
memberinya waktu dan peluang untuk Aro menyelami perasaan dan menikmati
emosinya tanpa beban. Saya tahu kami sama-sama belajar. Saya pun tidak berharap
mak bedunduk dia nyaman dan bisa
menerima banyak hal dengan sesuatu yang ditemuinya. Tidak melabeli, tidak
mencela, tidak memandang kasihan, dan bisa bermain bersama teman-teman
penyandang disabilitas adalah sesuatu yang patut saya syukuri darinya. Terima
kasih, Nak. Tumbuh dan nikmati saja masa kecilmu ini dengan senang. Tidak perlu
tergesa-gesa untuk tahu semuanya sebab tumbuh kembangmu bukan arena balap kuda
atau untuk dipamerkan kesana kesini.
The most beautiful things in life
cannot be seen or even touched, they must be felt with the heart – Helen Keller
–
0 Komentar