“Nda, tadi kita diberi apa saat pulang?” tanya Si Bocah sepulang dari belanja di sebuah supermarket. Saya pun mengulurkan sesuatu, “Ini?”

“Iya, apa itu ?”

“Ini namanya brosur. Menawarkan rumah”. Hum... Si Bocah manggut-manggut sambil membukai brosurnya.

“Gambar rumahnya seperti ini ?” Saya mengangguk. “Kalau kotak-kotak ini apa ?”

“Itu denah rumahnya. Menunjukkan luas rumah, juga ruang-ruang dalam rumah nantinya”.

“Seperti di mana ruang tidur dan kamar mandinya ?” Saya mengiyakan. Si Bocah hanya menjawab o kemudian pergi melakukan aktivitas yang lain.

Perbincangan selesai. Rasa ingin tahunya tentang brosur terpuaskan. Saya pun tidak mencoba memaksanya untuk menerima informasi lebih banyak lagi. Saya berkeyakinan, bila nanti merasa perlu untuk tahu lebih detail, dia akan mencari tahu sendiri.      

Saya memperhatikan brosur yang ditinggalkan Si Bocah di atas meja. Detail sekali bagaimana menjelaskan hunian yang ditawarkan. Meski belum semuanya berbentuk bangunan, namun gambaran besar dan bagaimana nanti rumah itu dibangun cukup jelas berikut dengan segala fasilitasnya.

Saya termangu. Untuk membuat sebuah rumah saja kita memerlukan blueprint sedetail ini. Bagaimana dengan mendidik anak-anak, manusia titipan Tuhan ? Sudah punyakah kita blueprint sebagai panduan mendidik mereka ? Sudahkah kita memiliki bayangan besar akan seperti apa mereka nanti ? Menjadi manusia yang bermanfaat bagi umat ataukah jadi beban masyarakat ?

Jamak di kita memasukkan anak-anak ke sekolah formal sama seperti yang dilakukan orangtua dulu saat sudah memasuki usia sekolah/ SD. Bahkan, saat ini pun sudah umum memasukkan anak-anak ke sekolah di saat usia dini (4tahun).

Cukupkah ‘hanya’ memasukannya sekolah formal atau mendaftarkan ke berbagai bimbingan belajar ? Atau ada hal lain ? 

Memilih melakukan pendidikan rumah untuk Si Bocah membawa saya kepada pengetahuan bahwa sebenarnya di Indonesia ada tiga jalur pendidikan yang diakui negara ; formal, non formal, dan informal.

Namun, yang paling familiar memang pendidikan formal, yaitu sekolah. Meski pun kerap ribut, mengeluh atau bahkan mengkritik sistem yang ada di sekolah, para orang tua tetap saja memasukkan anak-anaknya ke sana. Seakan mereka tidak memiliki pilihan lain. Kalau tidak sekolah, mau jadi apa nanti ? Kalau tidak sekolah, bagaimana masa depannya kelak ?

Homeschooling atau pendidikan rumah termasuk ke dalam jalur informal. Legal ? Pasti, sebab ada undang-undang yang memayungi. Pendidikan ini diselenggarakan oleh keluarga, bukan lembaga. Para orang tua memilih mendidik sendiri anak-anaknya dengan segala resiko dan kesempatan yang ada. Bila ada salah atau kurangnya, tanggung jawab ada di orangtua. Mereka adalah praktisi. Kekurangan, ketidakpuasan juga kritikan pada sistem pendidikan tidak sebatas wacana, namun mewujud ke dalam aksi kongkrit ikut serta menyelesaikan benang kusutnya dengan terjun dan menyelami pendidikan itu sendiri.

Waw sekali ya ? Tidak juga, para orang tua ini sama kok dengan orangtua yang menyekolahkan anaknya, namun mungkin sedikit nekad saja hehehehe. 


Menjalani pendidikan rumah sebaiknya diambil dan dimaknai sebagai pilihan sadar orangtua. Bukan karena tren, bukan karena agar terlihat kekinian, bukan karena agar bisa masuk ke dalam lingkup sosial tertentu. Bukan. Memilih mendidik mandiri adalah mencoba memberi peluang sebesar-besarnya untuk anak-anak berproses dan memunculkan potensinya dengan cara berbeda dari kebanyakan (baca: sekolah).

Karena merupakan pilihan sadar, belajar dan memastikan hak-hak mereka bisa terpenuhi pun keharusan untuk orang tua. Selain itu, selalu memperhatikan setiap keputusan yang kita ambil legal, tidak melanggar hukum negara dan Tuhan.

Sebagai contoh adalah keberlanjutan dari pendidikan anak-anak. Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana kalau mereka suatu saat ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi di dalam negeri, padahal syarat masuk salah satunya adalah ijazah..

Di Indonesia, jalur pendidikan memang ada tiga (formal, non formal, dan informal). Homeschooling masuk dalam pendidikan informal. Untuk mendapatkan ijazah, harus masuk ke jalur non formal, yaitu mendaftar di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyrakat) untuk mendapat NISN (Nomor Induk Siswa Nasional) sehingga bisa mengikuti ujian kesetaraan (kejar paket).

Sangat disarankan mencari PKBM yang ramah dengan homeschooler dan yang bisa menerbitkan NISN sebab tidak semua PKBM bisa menerbitkannya. Bagaimana mengetahuinya ? Kerap ngobrol dengan praktisi pendidikan rumah yang lain/ berjejaring atau mencari tahu langsung ke dinas pendidikan terkait.

Fiu...ribet ya? Harus mengulik perundang-undangan, membaca ini itu, belum menfasilitasi anak-anak dalam belajar, belum bekerja, dan belum belum lainnya.

Itulah mengapa sebenarnya memilih mendidik anaknya sendiri itu masuk kategori orang tua nekad hahahahaha. Sudah bukan pilihan populer, ribet, namun masih saja secara sadar dipilih. Berani menjadi praktisi, berani menjadi beda, berani menjadi perintis, berani kesepian, berani berjejaring, sekaligus berani menanggung resiko atas pilihan yang sudah dibuat.

Raising children, raising ourselves – Naomi Aldort

0 Komentar