Memilih Homeschooling (II)
“Nda, tadi kita diberi apa
saat pulang?” tanya Si Bocah sepulang dari belanja di sebuah supermarket. Saya
pun mengulurkan sesuatu, “Ini?”
“Iya, apa itu ?”
“Ini namanya brosur. Menawarkan
rumah”. Hum... Si Bocah manggut-manggut sambil membukai brosurnya.
“Gambar rumahnya seperti ini
?” Saya mengangguk. “Kalau kotak-kotak ini apa ?”
“Itu denah rumahnya.
Menunjukkan luas rumah, juga ruang-ruang dalam rumah nantinya”.
“Seperti di mana ruang tidur
dan kamar mandinya ?” Saya mengiyakan. Si Bocah hanya menjawab o kemudian pergi
melakukan aktivitas yang lain.
Perbincangan selesai. Rasa
ingin tahunya tentang brosur terpuaskan. Saya pun tidak mencoba memaksanya
untuk menerima informasi lebih banyak lagi. Saya berkeyakinan, bila nanti
merasa perlu untuk tahu lebih detail, dia akan mencari tahu sendiri.
Saya memperhatikan brosur
yang ditinggalkan Si Bocah di atas meja. Detail sekali bagaimana menjelaskan
hunian yang ditawarkan. Meski belum semuanya berbentuk bangunan, namun gambaran
besar dan bagaimana nanti rumah itu dibangun cukup jelas berikut dengan segala
fasilitasnya.
Saya termangu. Untuk membuat
sebuah rumah saja kita memerlukan blueprint
sedetail ini. Bagaimana dengan mendidik anak-anak, manusia titipan Tuhan ? Sudah
punyakah kita blueprint sebagai
panduan mendidik mereka ? Sudahkah kita memiliki bayangan besar akan seperti
apa mereka nanti ? Menjadi manusia yang bermanfaat bagi umat ataukah jadi beban
masyarakat ?
Jamak di kita memasukkan
anak-anak ke sekolah formal sama seperti yang dilakukan orangtua dulu saat
sudah memasuki usia sekolah/ SD. Bahkan, saat ini pun sudah umum memasukkan
anak-anak ke sekolah di saat usia dini (4tahun).
Cukupkah ‘hanya’ memasukannya
sekolah formal atau mendaftarkan ke berbagai bimbingan belajar ? Atau ada hal
lain ?
Memilih melakukan pendidikan
rumah untuk Si Bocah membawa saya kepada pengetahuan bahwa sebenarnya di
Indonesia ada tiga jalur pendidikan yang diakui negara ; formal, non formal,
dan informal.
Namun, yang paling familiar
memang pendidikan formal, yaitu sekolah. Meski pun kerap ribut, mengeluh atau
bahkan mengkritik sistem yang ada di sekolah, para orang tua tetap saja
memasukkan anak-anaknya ke sana. Seakan mereka tidak memiliki pilihan lain.
Kalau tidak sekolah, mau jadi apa nanti ? Kalau tidak sekolah, bagaimana masa
depannya kelak ?
Homeschooling
atau
pendidikan rumah termasuk ke dalam jalur informal. Legal ? Pasti, sebab ada
undang-undang yang memayungi. Pendidikan ini diselenggarakan oleh keluarga,
bukan lembaga. Para orang tua memilih mendidik sendiri anak-anaknya dengan
segala resiko dan kesempatan yang ada. Bila ada salah atau kurangnya, tanggung
jawab ada di orangtua. Mereka adalah praktisi. Kekurangan, ketidakpuasan juga
kritikan pada sistem pendidikan tidak sebatas wacana, namun mewujud ke dalam aksi
kongkrit ikut serta menyelesaikan benang kusutnya dengan terjun dan menyelami
pendidikan itu sendiri.
Waw sekali ya ? Tidak juga, para orang tua ini sama
kok dengan orangtua yang
menyekolahkan anaknya, namun mungkin sedikit nekad saja hehehehe.
Menjalani pendidikan rumah
sebaiknya diambil dan dimaknai sebagai pilihan sadar orangtua. Bukan karena
tren, bukan karena agar terlihat kekinian, bukan karena agar bisa masuk ke
dalam lingkup sosial tertentu. Bukan. Memilih mendidik mandiri adalah mencoba
memberi peluang sebesar-besarnya untuk anak-anak berproses dan memunculkan
potensinya dengan cara berbeda dari kebanyakan (baca: sekolah).
Karena merupakan pilihan
sadar, belajar dan memastikan hak-hak mereka bisa terpenuhi pun keharusan untuk
orang tua. Selain itu, selalu memperhatikan setiap keputusan yang kita ambil
legal, tidak melanggar hukum negara dan Tuhan.
Sebagai contoh adalah
keberlanjutan dari pendidikan anak-anak. Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana
kalau mereka suatu saat ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi di dalam
negeri, padahal syarat masuk salah satunya adalah ijazah..
Di Indonesia, jalur
pendidikan memang ada tiga (formal, non formal, dan informal). Homeschooling masuk dalam pendidikan
informal. Untuk mendapatkan ijazah, harus masuk ke jalur non formal, yaitu
mendaftar di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyrakat) untuk mendapat NISN (Nomor
Induk Siswa Nasional) sehingga bisa mengikuti ujian kesetaraan (kejar paket).
Sangat disarankan mencari
PKBM yang ramah dengan homeschooler dan
yang bisa menerbitkan NISN sebab
tidak semua PKBM bisa menerbitkannya. Bagaimana mengetahuinya ? Kerap ngobrol dengan praktisi pendidikan rumah
yang lain/ berjejaring atau mencari tahu langsung ke dinas pendidikan terkait.
Fiu...ribet ya? Harus
mengulik perundang-undangan, membaca ini itu, belum menfasilitasi anak-anak
dalam belajar, belum bekerja, dan belum belum lainnya.
Itulah mengapa sebenarnya
memilih mendidik anaknya sendiri itu masuk kategori orang tua nekad hahahahaha.
Sudah bukan pilihan populer, ribet, namun masih saja secara sadar dipilih. Berani
menjadi praktisi, berani menjadi beda, berani menjadi perintis, berani
kesepian, berani berjejaring, sekaligus berani menanggung resiko atas pilihan
yang sudah dibuat.
Raising
children, raising ourselves – Naomi Aldort
0 Komentar