Memilih Homeschooling ( I )
“Hari ini kita playdate ?” Saya mengiyakan yang
disambut teriakan sukacita. Bergegas dia pun bersiap sebab waktu sudah
menunjukkan jam sembilan pagi. Playdate baginya
adalah bertemu teman-teman dan bermain bersama dengan suka sedihnya. Saya pun
mengamini.
Berkegiatan bersama untuk Si
Bocah meskipun masih usia dini, tidak melulu bergembira. Ada saat-saat
berselisih paham antar mereka. Saya menganggapnya wajar dan sebagai proses
belajar juga. Belajar mengenali dan mengelola emosi, belajar mendengarkan juga
bergantian dengan yang lain, atau pun juga belajar menyelesaikan persoalan yang
dihadapi.
Sejak memutuskan mendidiknya
secara mandiri di rumah (homeschooling),
kami memang intens berkegiatan dengannya. Di usianya menjelang 5 tahun, kami
tidak terlalu menfokuskan diri dengan membaca, menulis, atau berhitung. Meski pun
dia bisa berhitung, sedikit menulis (minimal namanya hehehehe), atau juga bisa
membaca satu dua kata.
Fokus kami adalah bagaimana
menanamkan nilai-nilai baik, membangun ketrampilan sosial seperti bagaimana
berkomunikasi dengan orang lain dan berempati, juga bergaul dengan teman
sebaya. Karena tidak bersekolah, playdate
adalah salah satu cara Si Bocah bergaul dengan teman sebayanya sebab
kebetulan komplek yang kami tempati pun nyaris tidak ada anak kecil.
Yang paling penting juga
adalah bagaimana Si Bocah menikmati masa bermain dan bereksplorasi sepuasnya.
Berkegiatan dengan senang tanpa risau akan baik buruk nilai, bisa bertanya
apapun tidak ada benar atau salah, atau juga bercerita apapun meski kadang
sangat absurd dan imajinatif.
Bukankah pengalaman yang
berkesan, penting, dan menyenangkan adalah hal yang paling mudah diingat dan
bahwa memori akan lebih mudah bekerja lebih baik bila tidak dipaksa ? (John
Holt – Bagaimana Siswa Belajar).
Homeschooling
adalah
pendidikan berbasis keluarga. Jadi, kami tidak memasukkan Si Bocah ke sebuah
lembaga mana pun. Sebagai ortu, kamilah fasilitatornya. Kalau pun memerlukan
guru, hanya untuk sesuatu yang khusus seperti wushu.
Pede sekali yah ? Yaiyalah hahahahaha. Menemani,
mendampingi, dan menfasilitasi anak-anak usia dini modal utamanya memang
percaya diri bahwa kita bisa. Tidak sibuk ke kanan, kiri, depan, belakang saat
banyak ortu heboh menyekolahkan anaknya di usia dini apalagi tergiur
iklan-iklan berseliweran sebab tidak ada kecap yang mau nomer dua apalagi tiga
atau empat.
Penting diingat bahwa kita
para ortu adalah generasi terdidik. Apalagi sumber belajar melimpah dimana-mana
sekarang. Kurikulum pun bejibun dan
bisa kita akses baik yang gratis maupun berbayar. Hanya yang perlu diingat, anak
kitalah subyek pendidikan, bukan sebaliknya. Jangan hanya karena gengsi atau
ambisi kita kemudian menjadikan mereka korban kurikulum.
Menikmati berkegiatan dan
membangun kedekatan dengan mereka kemudian melihat kecenderungan-kecenderungannya
sekaligus menyesuaikan dengan filosofi keluarga maka kurikulum pun bisa kita
tentukan.
Wah, kalau tidak sekolah TK
tidak dapat ijazah dong ? Bagaimana
masuk SD nanti ? Ya, kalau mau masuk SD tinggal daftar saja, kalau pihak
sekolah menanyakan tentang ijazah TK, coba deh disodorkan UU dan PP ini sebab homeschooling itu legal dan diakui
negara kok.
0 Komentar