“Hari ini kita playdate ?” Saya mengiyakan yang disambut teriakan sukacita. Bergegas dia pun bersiap sebab waktu sudah menunjukkan jam sembilan pagi. Playdate baginya adalah bertemu teman-teman dan bermain bersama dengan suka sedihnya. Saya pun mengamini.

Berkegiatan bersama untuk Si Bocah meskipun masih usia dini, tidak melulu bergembira. Ada saat-saat berselisih paham antar mereka. Saya menganggapnya wajar dan sebagai proses belajar juga. Belajar mengenali dan mengelola emosi, belajar mendengarkan juga bergantian dengan yang lain, atau pun juga belajar menyelesaikan persoalan yang dihadapi.


Sejak memutuskan mendidiknya secara mandiri di rumah (homeschooling), kami memang intens berkegiatan dengannya. Di usianya menjelang 5 tahun, kami tidak terlalu menfokuskan diri dengan membaca, menulis, atau berhitung. Meski pun dia bisa berhitung, sedikit menulis (minimal namanya hehehehe), atau juga bisa membaca satu dua kata.

Fokus kami adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai baik, membangun ketrampilan sosial seperti bagaimana berkomunikasi dengan orang lain dan berempati, juga bergaul dengan teman sebaya. Karena tidak bersekolah, playdate adalah salah satu cara Si Bocah bergaul dengan teman sebayanya sebab kebetulan komplek yang kami tempati pun nyaris tidak ada anak kecil.

Yang paling penting juga adalah bagaimana Si Bocah menikmati masa bermain dan bereksplorasi sepuasnya. Berkegiatan dengan senang tanpa risau akan baik buruk nilai, bisa bertanya apapun tidak ada benar atau salah, atau juga bercerita apapun meski kadang sangat absurd dan imajinatif.

Bukankah pengalaman yang berkesan, penting, dan menyenangkan adalah hal yang paling mudah diingat dan bahwa memori akan lebih mudah bekerja lebih baik bila tidak dipaksa ? (John Holt – Bagaimana Siswa Belajar).

Homeschooling adalah pendidikan berbasis keluarga. Jadi, kami tidak memasukkan Si Bocah ke sebuah lembaga mana pun. Sebagai ortu, kamilah fasilitatornya. Kalau pun memerlukan guru, hanya untuk sesuatu yang khusus seperti wushu.

Pede sekali yah ? Yaiyalah hahahahaha. Menemani, mendampingi, dan menfasilitasi anak-anak usia dini modal utamanya memang percaya diri bahwa kita bisa. Tidak sibuk ke kanan, kiri, depan, belakang saat banyak ortu heboh menyekolahkan anaknya di usia dini apalagi tergiur iklan-iklan berseliweran sebab tidak ada kecap yang mau nomer dua apalagi tiga atau empat.

Penting diingat bahwa kita para ortu adalah generasi terdidik. Apalagi sumber belajar melimpah dimana-mana sekarang. Kurikulum pun bejibun dan bisa kita akses baik yang gratis maupun berbayar. Hanya yang perlu diingat, anak kitalah subyek pendidikan, bukan sebaliknya. Jangan hanya karena gengsi atau ambisi kita kemudian menjadikan mereka korban kurikulum.

Menikmati berkegiatan dan membangun kedekatan dengan mereka kemudian melihat kecenderungan-kecenderungannya sekaligus menyesuaikan dengan filosofi keluarga maka kurikulum pun bisa kita tentukan.

Wah, kalau tidak sekolah TK tidak dapat ijazah dong ? Bagaimana masuk SD nanti ? Ya, kalau mau masuk SD tinggal daftar saja, kalau pihak sekolah menanyakan tentang ijazah TK, coba deh disodorkan UU dan PP ini sebab homeschooling itu legal dan diakui negara kok.


0 Komentar