Beberapa waktu lalu, Si Bocah ikut berkegiatan di komunitasnya, Kerlap. Semacam pentas menutup akhir tahun 2017 untuk anak-anak yang mengikuti klub yang ada ; wushu, menari, english club, dan futsal serta ada penampilan dari adik-adik balita. Ini kali pertama kami ikut berkegiatan seperti ini (yang berbau party hehehe). Biasanya hanya playdate saja. 

Pentas dan playdate jelas berbeda. Maka, saya pun membuka obrolan dengan Si Bocah.

“Pentas ? Apa itu, Nda?” pertanyaan tersebut diajukan Si Bocah ketika saya memberitahunya. Saya pun menjelaskan. Si Bocah mengangguk-angguk. “Mengapa harus pentas ? Untuk apa?”


Sebuah pertanyaan mendasar yang polos namun membuat tertegun sesaat. Mengapa pentas ? Untuk apa ? Jadilah kemudian kami terlibat percakapan tentang mengapa dan untuk apa pentas diadakan.

Saya tidak bisa langsung mengatakan bahwa pentas adalah ajang memupuk kepercayaan diri bla bla bla semacamnya. Agak absurd bagi saya maupun Si Bocah sebab menumbuhkan percaya diri tidak melulu harus berdiri di atas panggung.

Di saya sendiri, pentas adalah sebuah kata yang cukup istimewa. Sebuah kata yang memunculkan akan serentetan kenangan masa lalu. Biasanya, pentas identik dengan tampil di atas panggung penuh sukacita, memakai kostum bagus, dan mendapat tepukan kagum penonton.

Sangat lekat di ingatan bagaimana senang dan bangganya seorang teman yang terpilih menjadi perwakilan kelas untuk pentas sekolah. Nyaris setiap ada kegiatan dia terpilih. Berbeda dengan saya. Saya tidak pernah merasakan ikut pentas. Saya hanya dipilih untuk kegiatan semacam cerdas cermat atau olimpiade. Spesialis P4, julukan para guru kepada saya dulu. Saya tidak terlalu senang. Saat itu, saya sangat ingin bisa pentas seperti teman-teman yang lain sebab merasa mampu tetapi tidak pernah terwujud sampai saya lulus sekolah dasar.

Ketidakterpilihan tersebut karena ibu saya yang kebetulan juga pengajar di sekolah. Beliau merasa tidak nyaman bila setiap ada kegiatan sekolah, saya selalu dimunculkan. Takut cap ‘mentang-mentang anak guru maka tampil melulu’. Beliau merasa anak lain juga berhak. Saya sempat merasa sedih dan marah saat itu. Sempat menyesal mengapa menjadi anak seorang guru.

Seiring berjalan waktu, saya tidak bisa pula menyalahkan keputusan ibu. Saya belajar memahaminya dengan kondisi saat itu dan tidak membandingkan dengan kondisi saat sekarang. Masa lalu dan masa sekarang jelas berbeda dan membawa tantangan dan masalahnya.

Saat ini, saya menjadi ortu. Bersama Si Bocah sedang membicarakan tentang kegiatan yang tidak pernah saya nikmati di masa kecil. Alih-alih mendorongnya untuk tampil, saya bertanya dulu akan pendapatnya.

Sebab, tatkala dia sudah memutuskan untuk pentas, ada serentetan konsekuensi yang akan dilalui dan itu tidak melulu menyenangkan. Seperti saat dia kelelahan dan hampir menangis saat tidak hafal satu jurus di wushu atau saat belajar menyelesaikan masalah saat berkonflik dengan teman. Saya tidak akan membelainya dengan bujuk rayu atau iming-iming. Tetapi akan tetap menemani, sesekali memeluk, dan mendukungnya. Kita belajar bersama ya, Nak. Belajar menjalani dan menikmati sebuah keputusan yang kita buat saat senang maupun sedih.

0 Komentar