“Ini begini, ya ?” tanya Si Bocah sambil menunjukkan hasil lipatannya. Saya mengangguk. “Lalu disetrika seperti ini, zessss!” Meski terdengar lucu, namun Si Bocah sebenarnya bersungguh-sungguh dalam usahanya melipat dan membentuk kertas karton itu menjadi kotak tempat kue.

Si Bocah sedang berada di rumah kakek neneknya. Kebetulan, dua hari lagi Yangdhe-nya (kakak perempuan ayah saya) akan mengadakan slametan. Satu tahun meninggal suaminya (dalam bahasa jawa kami menyebutnya ngekoli). Rumahnya dekat dan Si Bocah biasa pula bermain ke sana. Akrab dengan saudara sepupu saya yang dipanggilnya Budhe.

Si Bocah sangat bersemangat ikut dalam kesibukan mempersiapkannya. Slametan adalah sesuatu yang menarik. Di rumah ortu saya, slametan sendiri hampir setiap tahun diadakan sehingga hal tersebut tidak asing lagi baginya.

Ingatan akan datangnya para bapak bersarung peci di sore hari cukup lekat. Mereka akan duduk membentuk lingkaran untuk berdoa kemudian makan bersama lalu pulangnya membawa makanan (berkat). Belum kesibukan orang-orang memasak di dapur. Berinteraksi dengan orang-orang yang dia kenal  adalah sesuatu yang disukai. Ngobrol tertawa entah tentang apa.

Sebelum slametan dimulai, biasanya Si Bocah pun ikut nyekar. Ia bercerita kepada saya apa saja yang dilakukan selama di pemakaman bersama kakeknya sebab saya jarang membersamai. Mencabuti rumput, menabur bunga, dan berdoa.

“Kamu juga berdoa ?” Si Bocah mengangguk sambil mengangkat kedua tangannya, mempraktikkan bagaimana dia berdoa.

“Yangkung juga bercerita siapa yang di makam itu, Nda. Orang tuanya Yangkung. Ternyata Yangkung sama denganku, punya ayah dan bunda”.

Saya mengamini John Holt dalam Belajar Sepanjang Waktu, yang mengatakan bahwa anak-anak pada dasarnya menyukai hal-hal yang berkaitan dengan orang dewasa. Hal-hal yang benar-benar dilakukan oleh orang dewasa akan membuat mereka lebih tertarik dan mencobanya daripada hal-hal kecil yang kita belikan seperti mainan misalnya.

Saya pun mendapati di diri Si Bocah. Selalu ingin tahu apa yang saya atau ayahnya lakukan. Begitupun saat meihat saya membersihkan cetakan apem. Diawali dengan pertanyaan apa itu membuat kami membahasnya. Apa itu apem, bagaimana rasa dan cara membuatnya, dan mengapa hanya ada saat slametan.

“Berarti kita bisa membuatnya sekarang?” Saya menggeleng. “Mengapa? Yangdhe kan mau slametan? Boleh ya, Nda? Boleh ?” Si Bocah mulai merengek.

“Tidak bisa. Acaranya baru besok jadi membuatnya juga besok agar apemnya tetap enak saat diberikan ke orang-orang.” Jawaban final dan tidak bisa ditawar. Saya sudah mengunakan otoritas sebagai ortu. Si Bocah tahu. Meskipun tidak suka, dia mengiyakan. Berhenti merengek meski pun dengan muka cemberut.

Dalam buku Cinta Yang Berpikir dijelaskan bagaimana Charlotte Manson menyakini bahwa sebenarnya setiap anak secara intuitif mengenali otoritas yang dimiliki ortunya dan harus dipatuhi. Otoritas tersebut bisa runtuh bila para ortu meragukan kondisi ini dan berakibat akan kehilangan respek dari anak. Respek dan kepatuhan anak kepada ortu merupakan kondisi yang harus dipertahankan dan dilatih sejak dini.

Esoknya, pagi-pagi sekali Si Bocah sudah heboh mengajak membuat apem. Untung, kakak sepupu saya cukup sabar dengan anak menjelang lima tahun ini. Dia mengerti rasa penasaran yang mendera Si Bocah. Mereka pun bersama-sama mnyiapkan bahan-bahannya seperti tepung beras, gula, fernipan, telur, santan, dan tapai singkong.

Saya mengamati bagaimana Si Bocah berperilaku. Berinteraksi dengan orang lain, belajar mengenali bahan dan menimbangnya, menunggu adonan siap dicetak sambil berlarian kesana kemari melihat makanan apa saja yang dimasak dan tidak lupa bertanya apa ini apa itu.

Sejak memutuskan mendidik secara mandiri Si Bocah, saya belajar memahami apa yang dilakukan dan ditemuinya di keseharian adalah proses dia belajar mengenal lingkungan. Memberinya kesempatan mengeksplorasi banyak hal dan berinteraksi dengan beragam orang.

Seperti ketika kami cukup repot menyiapkan slametan saat ini. Alih-alih memintanya bermain di luar agar tidak mengganggu seperti para ortu dulu melarang, saya mengajaknya ikut membantu. Banyak hal yang bisa dipelajari oleh anak 5 tahun ini seperti kesediaan melayani, bersabar, bertekun mengerjakan sesuatu, sekaligus memberinya kenangan bahagia. Sebab, belajar tidak melulu membaca, menulis, dan berhitung.

Yang kita butuhkan bukanlah kurikulum yang lebih baik, namun materi yang lebih dekat dengan kehidupan. – John Holt -

1 Komentar