Tuhan dan Tongkat Peri
“Nda, Bunda ingat foto di rumah Yangkung dan Yangti ?” tanya Si Bocah sambil mengunyah rotinya.
“Foto ? Foto yang mana ?”
“Yang ada di dinding itu lho. Foto Yangkung dan Yangti menikah.”
“Ooo, foto pernikahan
Yangkung dan Yangti ?” Si Bocah mengangguk. “Mengapa ?”
“Kok Bunda tidak ada dalam
foto itu ?”
“Karena Bunda belum lahir.”
“Aku juga tidak ada. Apakah
aku belum lahir juga ?” Saya mengiyakan. “Lalu, Bunda sama aku ada di mana ?”
“Dimana kira-kira?” balas
saya memancing jawabannya. Dalam hati sebenarnya membatin, duh mimpi apa
semalam, pagi-pagi sudah mendapat pertanyaan filosofis seperti ini dari anak
balita. Si Bocah terdiam sambil mengunyah rotinya.
“Mungkin aku sama Bunda
sedang bersama Tuhan”. Hm, saya pun mengangguk-angguk.
“Tapi kalau kita bersama
Tuhan, kita sedang apa ya, Nda?”
“Menurutmu kita sedang apa
?”
“Mungkin bermain. Atau
berlari-lari. Atau latihan wushu. Kira-kira Tuhan senang wushu tidak seperti
aku ?”
“Bisa jadi”, jawab saya
serius. Si Bocah diam. Tidak melanjutkan pertanyaannya. Merasa cukup. Dia pun
mengalihkan perhatian. Sibuk dengan aktivitas menggambarnya dan perbincangan
mengenai Tuhan pun selesai. Saya pun melepas nafas lega fiu...
Pertanyaan tentang Tuhan
akhirnya muncul. Kemarin masih tentang siapa Tuhan dan sekarang sudah berbeda.
Awalnya, saya sempat galau
menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bertanya-tanya apakah tanggapan
saya cukup memadai atau kami perlu bertanya ke orang yang lebih mumpuni
(disekolahkan misalnya seperti jawaban dari beberapa teman yang memasukkan
anaknya ke lembaga formal di usia dini).
Bersyukur mendapat kalimat
menguatkan dari buku ‘Belajar Sepanjang Waktu’ karya John Holt tentang
keindahan anak manusia yang menjelajahi dunia di sekelilingnya ; menciptakan ilmu pengetahuan berdasarkan
pertanyaan, pikiran, dan pengalaman yang ia miliki. John Holt menyakini bahwa
semua anak melakukan hal tersebut bila kita memberikan sedikit perhatian yang
bijak kepada mereka. Waw sekali rasanya. Sesuai juga dengan pribadi Si Bocah
yang tidak suka digurui atau diceramahi lama-lama (seperti saya hahahaha).
Saya sangat menikmati saat-saat
ngobrol dengan Si Bocah. Lebih
memilih banyak mendengarkan. Bila Si Bocah bertanya sesuatu, alih-alih
menjawab, seringnya saya menanyakan kepadanya kembali. Senang menggali apa yang ada di dalam pikirannya. Termasuk
pertanyaan tentang Tuhan. Meski obrolan tersebut kerap tidak lebih dari 5
menit.
Tantangan ngobrol dengan balita adalah kesabaran
dan ketersediaan waktu yang tanpa batas juga tidak kagetan. Sabar di sini adalah bisa mendengarkan tanpa menyela atau
memotong ucapannya dan memberi respon positif. Tentang ketersediaan waktu, saya
andaikan seperti sedang menjadi suami siaga hahaha sebab pertanyaan datang
tidak mengenal waktu, tiba-tiba dan bisa kapan saja, pagi, siang, sore atau
bahkan malam. Saat pertanyaan datang, kerap harus menjeda sejenak kegiatan yang
sedang saya lakukan sambil mempersiapkan diri untuk hal mengejutkan.
Seperti sore ini. Kami
sedang melihat langit sore yang memerah. Si Bocah bertanya mengapa langit
merah, apakah Tuhan yang membuatnya memerah.
“Bagaimana menurutmu ?”
Seperti biasa, saya tidak menjawab namun balik bertanya. Si Bocah terdiam.
“Itu seperti misteri, Nda”.
Hm... “Ajaib. Mungkin itu perbuatan Tuhan yang mengayunkan tongkat sambil
bilang abrakadabra seperti ibu peri di Cinderella”.
Sejujurnya, di saat tersebut
sulit rasanya kalau tidak tertawa dan saya pun tertawa.
“Mengapa?” tanya Si Bocah
tidak senang. Setelah menghela nafas, saya mencoba memperbaiki respon. Menjelaskan
kalau saya tertawa karena membayangkan Tuhan membawa tongkat seperti ibu peri.
Si Bocah pun ikut tersenyum.
“Tetapi mantranya kun fayakun, bukan abrakadabra”.
“Mengapa ?”
“Mengapa ya ? Mungkin karena
Tuhan itu menguasai semua bahasa. Poliglot”.
Hanya diam. Kami melanjutkan
menikmati senja untuk beberapa saat sebelum masuk kembali ke rumah. Saya
memilih menemani Si Bocah berimajinasi di usia balitanya daripada menunjukkan
serentetan fakta tentang mengapa langit memerah.
Imagination is more important than knowledge –
Albert Einstein
2 Komentar
Saat tiba di mengapa langit berwarna merah ... jelas saya juga tertawa. Pdhl bagi anak itu bukan hal lucu, is serious dengan pemikirannya.
BalasHapusSaat seperti ini, saya merasa lbh kekanak-kanakan dari dia.
Hehehe, jiwa kanak-kanak perlu kita miliki berapapun usia kita :-)
BalasHapus