istimewa

 

Akhir pekan seperti ini enaknya menulis yang ringan-ringan saja ya ? Apalagi cuaca mendung dan sepertinya hujan akan turun tidak lama lagi. Kalau terlalu serius, khawatirnya tertidur hehehe.

Film yang saya pilih agak berbeda. Sedikit berbau acha-acha meski tidak ada adegan menangis sambil menari di balik pohon di bawah rinai hujan sambil memanggil Anjali (jiah...ketahuan sekali sudah uzur hehehe).

 

Film tentang seorang anak bernama Ihsaan, 8 tahun. Yang senang berkhayal. Yang sering pulang dengan pakaian kotor penuh lumpur karena keseruannya mencari ikan di selokan dan memunguti aneka benda menarik untuk dibawa pulang. Yang ‘semau gue’ dan terlihat sangat santai sekali. Yang senang dengan aneka binatang. Yang kerap melakukan kesalahan sehingga mendapat panggilan idiot dari banyak orang, temasuk guru dan teman-temannya. Yang kerap mendapat nilai terendah di sekolah.

 

Terbayang kan bagaimana rasanya menjadi ortu Ihsaan ? Waw sekali pasti.

Orang jawa mungkin bilang mbededek. Jengkel sekali. Itulah yang dirasakan ayahnya sampai ketika mendapat pengaduan dari salah seorang ortu teman Ihsaan entah untuk yang kesekian kali, hilang kontrol.

 

Memukul dan memarahi Ihsaan tanpa mau mendengar ceritanya dulu. Hanya percaya kepada apa yang dikatakan orang lain. Padahal, Ihsaan saat itu membela diri dan yang memulai pertengkaran adalah teman yang mengadu bersama ibunya. Hanya ibu dan kadang kakaknya yang memahaminya meski tidak mengerti sepenuhnya.

 

Ihsaan dan kakaknya memiliki karakter yang sangat berbeda. Sang kakak adalah bintang di sekolah. Hampir semua mata pelajaran di sekolah mendapat nilai tertinggi. Berpenampilan rapi, bersih, juga tertib aturan dan waktu. Gambaran anak kebanggaan ortu pada umumnya.

 

Ihsaan ? Seperti yang digambarkan di awal. Seorang anak yang harus dibangunkan berkali-kali untuk berangkat ke sekolah. Ibunya harus menyuapi, memakaikan baju dan kaos kaki hanya agar dia tidak terlambat sebab Ihsaan begitu kikuk melakukan hal-hal seperti itu meski usianya sudah 8.

Meski begitu, Ihsan masih tetap bermasalah di sekolah. Mulai dari mendapat hukuman karena sepatunya yang tidak disemir sampai dikeluarkan dari kelas. Bukan karena Ihsaan membuat kegaduhan. Namun karena sang guru murka.

 

Awalnya, Ihsaan tidak memperhatikan pelajaran. Asyik melamun di depan jendela memperhatikan genangan air yang memercik setiap ada roda yang melewatinya. (Saya jadi teringat Toto-chan di adegan ini).

 

Tergagap ketika guru memintanya membaca sebuah paragraf di buku. Ihsaan kesulitan. Tersendat-sendat lirih tidak jelas suaranya. Sang guru meminta untuk memperjelas bacaannya. Ihsaan mengatakan kalau hurufnya terlihat menari semua sehingga sulit dibaca. Mendengar pernyataan Ihsaan, alih-alih memahami kalau dia kesulitan membaca, gurunya membentak sambil meminta untuk membaca lebih keras dan cepat. Gugup, bingung, dan takut, yang keluar dari mulutnya akhirnya adalah bla bla bla yang cepat dan keras mengundang tawa seluruh isi kelas sekaligus marah sang guru.

 

Ihsaan pun diusir keluar. Bukannya sedih, Ihsaan terlihat senang dan lega. Seakan kelas adalah sesuatu yang menakutkan dan tidak menyenangkan baginya. Berada di luar, Ihsaan melakukan hal-hal yang disukainya. Meniru suara-suara binatang pada gambar yang tertempel di dinding, melakukan pantomin, bahkan mengupil. Semuanya dijalaninya dengan gembira.

 

Sebuah ide liar membuatnya mengambil tas dan meninggalkan sekolah meski bel pulang belum berbunyi. Ihsaan memilih kebebasannya. Dia berjalan kemana pun. Melihat para pedagang di pinggir jalan, pekerja bangunan, para pekerja kantoran yang bergegas, anak-anak jalanan yang riang bermain, aneka macam lukisan yang dijual, mengikuti pengamen jalanan, terpesona dengan arum manis, sampai merasakan sensasi naik double decker dengan melongokkan kepala keluar jendela. Luar biasa. Bolos sekolah memang menyenangkan!

 

Pengalaman itu kemudian dituangkan Ihsaan melalui lukisannya. Lukisan yang indah. Kakaknya pun mengakui kalau dia tidak bisa melukis sebagus Ihsaan.

 

Namun, orang dewasa tidak mengerti. Ibunya tetap senewen dan marah saat mengetahui Ihsaan tidak bisa menulis apapun dengan benar padahal sudah diajari berkali-kali. Nilai-nilai Ihsaan di sekolah paling buruk.

 

Puncak dari kemarahan ortunya – terutama ayah - adalah saat mengetahui Ihsaan sempat bolos sekolah. Orang tua Ihsaan merasa sangat malu dan bersalah ketika pihak sekolah (baik guru maupun kepala sekolah) menceritakan apa saja tentang dirinya.

 

Nilai-nilai yang sangat buruk, tidak fokus di kelas, sampai kerap melanggar aturan dan tidak menyerahkan surat panggilan sekolah. Pihak sekolah pun angkat tangan dengan kondisi Ihsaan apalagi itu adalah tahun kedua ia di kelas 3. Para guru itu yakin kalau Ihsaan akan gagal lagi di kelas 3 karena dia ‘spesial’. Spesial di sini adalah memiliki intelektualitas di bawah rata-rata. Ihsaan harus bersekolah di sekolah khusus.

 

Ayahnya pun setuju. Dengan cepat mencari sekolah khusus semacam boarding school. Meskipun ibunya menghalangi dan Ihsaan menolak dengan derai tangis sedihnya, keputusan ayahnya sudah final. Ihsaan masuk sekolah berasrama. Sekolah umum namun anak-anaknya tidak pulang ke rumah, namun tidur bersama di asrama.  

 

Ihsaan pun pindah sekolah. Sekolah hukuman menurutnya sebab tempat dimana Ihsaan dijauhkan dari ibu, kakak, juga ayahnya. Tempat dimana tidak ada lagi ibu yang biasa membantunya. Semua sendiri.

 

Di awal masa belajarnya di sekolah baru, Ihsaan mengalami banyak kesulitan dan pengalaman tidak menyenangkan. Hampir mirip seperti yang dialaminya di sekolah lama. Penampilan berantakan. Mendapat nilai buruk di hampir semua mata pelajaran sehingga julukan idiot, bodoh, gila, dan aneka cap negatif tertempel di dirinya bahkan menerima beberapa pukulan. Kekerasan baik fisik atau verbal dialami Ihsaan di sekolah.

 

Ihsaan sangat frustasi dan sedih. Dia benci  hal-hal yang berhubungan dengan belajar dan sekolah. Semua huruf dan angka semacam teror untuknya. Namun, dia tidak punya teman bercerita. Dia hanya bisa marah atau menangis diam-diam. Ihsaan kesepian.

 

Sampai suatu saat, guru seni yang sempat memukulnya itu pindah. Seorang guru seni baru menggantikan. Guru seni yang benar-benar nyeni. Muncul pertama kali dengan bernyanyi dan bermain flute lengkap dengan kostum badutnya. Semua anak gembira menyambut kecuali satu anak, Ihsaan. Dia tetap tak bergeming. Sang guru itu, Ram Shangkar.

 

Model pembelajaran yang berbeda ini pun mendapat tanggapan beragam dari pengajar yang lain meski rata-rata dari mereka kurang sepakat. Mereka berpendapat kalau gaya seperti itu tidak cocok diterapkan di sekolah umum. Lebih cocok untuk sekolah-sekolah khusus dengan siswa berkebutuhan khusus atau terbelakang mental, seperti sekolah tempat guru seni baru itu mengajar selama ini.

Sekolah umum, menurut para guru tersebut adalah tempat dimana perintah, disiplin, dan mencetak tenaga kerja terjadi. Tiga pilar pendidikan yang diperlukan saat sekarang ini, menurut pendidik di sana. Pemahaman yang mengenaskan sekaligus membuat geregetan.

 

Ram Shangkar tidak banyak berkomentar akan tanggapan koleganya. Namun, diam-diam ia mencari tahu tentang Ihsaan. Sampai kemudian menemukan jawabannya.

 

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan Ihsaan memiliki pola yang sama. Terutama dalam menulis. Hampir di semua tulisan tangan yang dibuatnya banyak huruf terbalik. Sulit membedakan huruf yang hampir sama seperti d dan b. Hal tersebut membuatnya mengalami kendala membaca dan mengerti isi teks. Ihsaan pun kesulitan dalam masalah prakiraan ukuran, jarak, dan ruang. Apa yang dialami Ihsaan biasa disebut sebagai disleksia.

 

Ram Shangkar pun terpukau melihat lukisan Ishaan yang penuh imajinasi dan indah ketika berkunjung ke rumahnya. Ortunya, terutama sang ayah, mengetahui anaknya menderita disleksia alih-alih mengerti, dia tetap menganggap anaknya bermasalah.

 

Ayahnya beranggapan bahwa apa yang menjadi ketrampilan Ihsaan –melukis -, tidak akan membuatnya kemana-mana. Tidak akan membuat bisa bersaing dan berkompetisi dengan yang lain. Ihsaan hanya akan menjadi beban ortu seumur hidup.

 

Sedih, marah, kecewa, jengkel, dan aneka perasaan tidak sepakat juga berbagai pertanyaan menghampiri si guru, Ram Shangkar. Mengapa memilih memiliki anak kalau kemudian hanya untuk melampiaskan ambisi pribadinya kepada mereka ? Agar di waw orang lain? Adilkah untuk mereka ?

Anak-anak itu adalah individu ciptaan Tuhan pula. Yang unik dengan beragam potensinya, yang memiliki keinginan  dan mimpi sendiri. Yang mengemban misi hidupnya dan tidak untuk melaksanakan misi hidup ortunya.

 

Anak-anak disleksia bukan anak tanpa masa depan. Banyak orang jenius yang masa kecilnya masalah membaca dan menulis, terbukti mampu mendedikasikan karyanya bagi umat manusia. Albert Einstein dengan teori relativitasnya, Leonardo da Vinci, Walt Disney, Agatha Christy misalnya.   


Anak-anak disleksia memerlukan orang dewasa untuk membantunya. Alih-alih melabeli negatif, orang dewasa bisa menunjukkan kepeduliannya dengan memberi banyak stimulus untuk mereka mampu melewati kesulitannya. dengan beragam cara tentunya. Menunjukkan kalau kita sayang mereka. Mereka bisa datang ke ortunya saat menghadapi masalah. Mereka percaya ortunya. Akan banyak bintang bersinar indah mewarnai bumi ini dari beragam karya terbaik mereka tentunya.

0 Komentar