Aku dan Temanku, Aya
“Iki kembang jambu. Ora diapek mergo ben iso awoh terus manfaat”,
kata Aya menjelaskan. Si Bocah hanya diam. Saya cukup yakin dia tidak mengerti
semua ucapan temannya itu sebab kesehariannya tidak memakai bahasa jawa. Tetapi,
dia paham. Tangannya yang sempat terulur untuk mengambil bunga yang menarik
tersebut ditarik kembali. Ada sedikit raut kecewa namun segera berubah ketika
diajak bermain petak umpet.
Saya mengamati diam-diam,
pura-pura sibuk entah apa. Tidak perlu ada komentar atau senyuman karena hanya
akan membuat Si Bocah protes dan tidak nyaman. Saya belajar membiarkan Si Bocah
mengelola dan menghadapi emosinya sendiri untuk hal-hal semacam ini. Lebih
sesuai dengan karakternya yang cenderung introvert.
Kami sedang di Sukolilo,
Pati. Berinteraksi dengan penduduk di sana. Sedulur
sikep, begitu mereka menamakan diri meski banyak orang menyebut mereka
sebagai orang Samin. Sebuah kelompok masyarakat Jawa yang menganut ajaran dari
Samin Surosentiko (saminisme).
Aya adalah anak sedulur
sikep. Gadis kecil berusia sekitar 8 tahun itu cukup akrab dengan Si Bocah
karena cukup sering kami kesini. Bahasanya lembut dan senyumannya manis. Anak perempuan
berambut panjang yang bila ditanya berapakah usianya akan menjawab satu untuk
selamanya ini tidak bersekolah - sama seperti anak-anak sikep yang lain - .
Pengetahuan mereka dapatkan dari keseharian, keluarga, dan orang-orang di
sekitarnya.
Menarik mengetahui keputusan orang sikep untuk mendidik anak-anak secara mandiri. Saya membayangkan bagaimana
dulu masyarakat ini menanggapi program belajar sembilan tahun yang gencar disosialisakan oleh pemerintah. Secara
mereka juga bukan golongan yang senang memilih kekerasan. Mereka lebih senang
duduk bersama ngobrol untuk
menjernihkan sebuah masalah. Bermusyarawah (aduh kata yang terdengar klasik
zaman sekarang ini, bukan?)
Kelompok masyarakat ini pada
umumnya bermata pencaharian petani dengan memelihara ternak di rumahnya. Meski tidak
bersekolah formal, mereka bisa membaca dan menulis bahkan sangat terbuka dengan
teknologi. Dalam keseharian, kehidupan sedulur
sikep ini pun bercampur dengan masyarakat jawa lainnya. Nyaris tidak ada
yang berbeda.
Saya sempat bertanya kepada Mba Siti, ibu dari Si Aya. Hidup bersama
masyarakat lainnya, apakah Cahaya memiliki keinginan untuk bersekolah melihat
anak-anak tetangganya setiap pagi berseragam dan pergi ke sekolah.
“Kesadaran sebagai orang
sikep telah kami tanamkan sejak kecil. Orang sikep meski hidup bersama
masyarakat lain namun memiliki pemahaman yang berbeda. Tidak bersekolah dan nrima menjadi petani adalah contohnya.”
Hm...
Mengapa bertani ? Bukan
pekerjaan yang lain seperti berdagang atau menjadi pegawai kantoran misalnya ?
Keyakinan dan keinginan tidak berbohong dalam kehidupan menjadi titik awalnya. Dengan
bertani, mereka mengolah tanah dan merasakan bagaimana kemurahan ibu bumi. Bertani
menghindarkan mereka dari berbohong. Sebab,
kalau pun menjual hasil pertanian maupun ternaknya, mereka tahu kondisi
sebenarnya juga bisa menentukan harga sewajarnya. Pemikiran sederhana yang
menurut saya membutuhkan sebuah keberanian besar untuk mempraktikkannya.
Belum lagi, masyarakat
sederhana yang dalam pandangan orang modern ‘agak udik’ ini ternyata memiliki
keyakinan dan kepercayaan diri yang besar dalam mendidik secara mandiri
anak-anaknya. Tidak menyekolahkannya secara formal. Tidak ribet dengan segala
macam ujian nasional dan gelar akademik. Tidak khawatir bagaimana anak-anak
tersebut menjalani hidupnya nantinya. Mereka percaya sudah memberi bekal cukup
untuk menjalani kehidupan dewasanya.
0 Komentar