“Apa itu, Nda?” tanya Si Bocah di ujung pintu masuk saat melihat ayunan besar berwarna hijau muda di tengah-tengah ruangan. Beberapa anak kecil terlihat menaikinya dengan suka cita.

“Itu ayunan besar. Mau mencoba ?” Si Bocah menggeleng. Jawaban khas bila melihat sesuatu yang baru. Alih-alih antusias berlari mencoba, dia hanya akan melihat saja. Memperhatikan dulu sampai benar-benar merasa nyaman dan aman untuk mencoba.

Kami di Museum Nasional. Ada pameran gendongan bayi bertajuk Fertil, Barakat, Ayom (Kesuburan, Berkah, dan Perlindungan) di sana sampai tanggal 29 Oktober nanti. Kalau dari keterangan katalognya sih ini hasil kerjasama antara Museum Nasional Indonesia dengan Museum Nasional Prasejarah, Taiwan.


Mengajak Si Bocah yang masih balita ke pameran seperti ini, tidak ada ekpektasi apa-apa. Hanya mencoba mengenalkannya ke banyak hal. Tidak pula  bertele-tele menjelaskan. Lebih memilih melihat reaksinya dan memberinya kesempatan mencerna apa yang ada sendiri. Bila dia nyaman, maka akan lama menikmati apa yang ditemuinya. Bila tidak, biasanya ia akan mencari alibi untuk segera mengajak keluar.

Di pintu masuk ruang pameran, ada gelembung kain besar. Diandaikan sebuah rahim yang hangat, aman, nyaman, tanpa sudut yang membahayakan untuk siapa saja  pengunjung yang akan masuk ke dalam. Memunculkan rasa penasaran bagi kami untuk segera masuk. Tak lupa mengisi dulu daftar hadir yang dijaga mas-mas gondrong hehehehe.

Ruang pameran tak begitu luas, tapi ditata dengan apik dan pencahayaan yang menarik. Papan-papan yang ditata di lantai seakan mengajak pengunjung untuk mengunjungi ingatan masa kecil. Disini dipamerkan gendongan-gendongan khas dari banyak daerah baik di Indonesia maupun China. Tak hanya bentuk yang beragam, bahan pembuatnya pun juga dari berbagai jenis. Mulai dari bahan kain, kayu rotan sampai serat kayu halus. Seakan tak hanya menonjolkan fungsi, gendongan-gendongan tradisional ini juga bertaburan dengan hiasan dengan beragam makna..


Gendongan dari Guizhou, China


Si Bocah terlihat menikmati pameran. Melihat kesana kemari. Tertarik pada seorang ibu yang sedang belajar menenun kain tenun ikat a la Dayak Desa. Beralih melihat ayunan dari serat kayu dari Dayak, kemudian ke berbagai gendongan yang ada. Entah apa yang dipikirkannya. Berhenti dari gendongan satu ke gendongan lainnya.

praktik menenun
Di setiap gendongan disediakan tulisan yang menerangkan asal-usul gendongan. Si Bocah belum bisa membaca karena itu saya harus membacakan keterangan yang ada. Dia mendengarkan sambil mengamati. Seperti tentang motif hiasan di kain gendongan dari China yang kebanyakan berbentuk bunga, tumbuhan, ikan, kupu-kupu, dan laba-laba dengan warna-warna terang. Si Bocah dengan tekun mencari bentuk-bentuk yang dimaksud.     







Bening dari Kalimantan
Bagi orang China, bentuk-bentuk itu memiliki makna yang berbeda, seperti kupu-kupu yang melambangkan dewa pelindung bayi bagi Shui, dan laba-laba yang berarti perlindungan dan umur panjang.

Gendongan dari Indonesia diwakili dari daerah Kalimantan dan Alor. Untuk masyarakat Dayak, mereka menamakannya Bening. Terbuat dari rotan dan kayu dengan hiasan manik-manik yang indah. Gendongan ini diperuntukkan untuk anak-anak yang sudah bisa duduk tegak. Digendong di punggung dan diajak ikut kegiatan sehari-hari orang tuanya, berladang. Sedangkan untuk masyarakat Alor, mereka menggunakan selendang panjang seperti ulos untuk mengendong bayinya.






Melihat beragam gendongan seperti melihat sebuah eratnya hubungan ibu-anak. Bagaimana beban yang menyenangkan itu dibawa kemana-mana untuk melindunginya sekaligus mengerjakan banyak hal dalam kehidupan. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa anak yang merasakan sentuhan fisik cukup pada masa kecilnya seperti banyak digendong, akan mengalami kematangan emosi yang baik di masa dewasanya.

Melihat pameran gendongan ini membawa saya ke ingatan akan pengalaman mengendong Si Bocah semasa bayinya. Bagaimana kikuknya melilitkan kain panjang kemudian meletakkannya dalam posisi yang nyaman. Kekhawatiran akan bayinya jatuh saat dibawa kemana-mana namun di sisi lain ada keinginan mengusahakan dia merasa aman. Ah, bagaimana pun ragam perasaan dan kekikukan itu, ternyata Si Bocah menaruh kepercayaan besar kepada kita. Terbukti dia lelap dalam gendongan entah bagaimana posisi kita saat itu hehehehehe.

‘Ketika Tuhan tidak bisa ada dimana-mana, Ia menciptakan Ibu’ – pepatah Cina.  

0 Komentar