Sesuatu Dari Laut dan Gunung
“Hari ini kita akan memasak
apa, Nda?” tanya Si Bocah antusias. “Apakah sesuatu dari laut atau sesuatu dari
gunung ?” Tiga hari ini, saya harus menjawab pertanyaan yang sama setiap pagi. Tentang
menu makanan.
Pertanyaan yang muncul sejak
Si Bocah mulai saya bacakan Toto-chan. Bab yang disukainya adalah ketika
murid-murid Tomoe sedang makan. Mereka membawa bekal dari rumah untuk makan
siangnya. Pak Kobayashi, kepala sekolah yang bijaksana itu menganjurkan agar
bekal setiap anak mengandung sesuatu dari laut dan sesuatu dari gunung. Bukan
makanan empat sehat lima sempurna.
Bagi bapak kepala sekolah
baik hati ini, bila bekal sudah mengandung dua unsur tersebut, maka sudah
terpenuhi gizinya. Bila ada murid yang hanya membawa bekal dari laut atau dari
gunung saja, maka istri kepala sekolah akan menambahkan yang tidak dibawa. Luar
biasa kan ?
Sama seperti Toto-chan yang
menjadi karakter utama dalam buku cerita tersebut, Si Bocah pun sangat senang
dan antusias dengan istilah itu. Kami kerap mencari makanan yang dari laut dan
dari gunung bergantian.
Kebiasaan yang saya lakukan
dengan Si Bocah setahun terakhir ini adalah memasak bersama apa yang akan
dimakan. Kadang diselingi dengan diskusi dan tawar menawar menu yang disukai
dilanjutkan dengan belanja yang dibutuhkan.
Dulu, sebelum Si Bocah
berusia 4 tahun, saya biasa menyiapkan sendiri makanannya. Tidak pernah
bertanya mau makan apa. Semua sesuai dengan selera dan keputusan saya. Hak prerogatif
ibu hihihi. Setelah Si Bocah bangun tidur, sarapan sudah siap dan tinggal
menyantap.
Namun, pola ini saya ubah
seiring pertambahan usianya. Si Bocah mulai terlibat. Memilih menu, memotong
kentang, wortel, tempe, atau memetik sayuran. Sambil berkegiatan, kami kerap ngobrol. Terutama tentang bahan makanan
yang ada. Mulai dari warna, bau, bentuk, rasanya, dari mana asalnya kemudian bagaimana
menanamnya.
Kami jarang memasak
pagi-pagi. Biasanya pagi hanya minum air dan makan buah. Kegiatan memasak dimulai
pukul sembilan. Itu pun tidak tergesa-gesa. Si Bocah sudah terbiasa dengan program
memasak dulu baru makan. Ora obah, ora
mamah hehehehe. Tidak seru juga memasak sendiri itu. Lelah hayati.
Wuih, pasti lama ya? Iya. Cukup
lama. Proses masak memasak ini saya maknai sebagai kegiatan belajar. Belajar dari
kehidupan sehari-hari. Tidak hanya untuk Si Bocah, namun juga untuk saya. Kami
menikmati kebersamaan yang ada. Menjalin kedekatan dan memupuk kepercayaan
antara ibu dan anak. Kebetulan Si Bocah juga senang memasak.
Ketika Si Bocah penasaran
dengan makanan denbu yang menjadi
bekal Toto-chan, kami pun sempat membahasnya. Meski sudah dijelaskan di buku
bahwa denbu adalah masakan dari ikan
yang direbus dan telah dibuang tulangnya kemudian dibakar sebentar lalu
ditumbuk halus, dibumbui kemudian dikeringkan, saya yang bukan penggemar
masakan jepang pun tidak memiliki bayangan bagaimana bentuknya.
“Kita lihat saja di
internet, Nda. Googling.” Hahahaha.
Begitulah relasi diantara kami. Generasi milenial dan generasi Z. Meski pun
berangkatnya dari buku, tetap berakhirnya di Google.
Sudahkah kita memasak
bersama anak-anak minggu ini ?
0 Komentar