Gagal ke Oase Festival
“Besok kita ke Museum Bank
Mandiri untuk melihat pertunjukan ?” Saya menganguk. “Iya, Bunda. Aku mau. Aku
suka melihat pertunjukkan.”
Sepenggal obrolan saya dengan Si Bocah sebelum dia
tidur. Menceritakan apa kegiatan yang akan kami lakukan esok hari. Rencananya
kami akan hadir di acara Ofest. Kegiatan semacam perayaan yang diinisiasi oleh
anak-anak pendidikan rumah di klub Oase. Kegiatan ini adalah ajang menunjukkan
kemandirian, kreativitas, juga kerja keras mereka sekaligus menggalang dana
mandiri untuk beaya rencana eksplorasi selanjutnya.
Acara bagus dan menarik. 200
tiket yang disediakan panitia, habis dalam sehari saja. Animonya luar biasa. Banyak
yang masuk ke daftar tunggu. Saya pribadi sangat bersemangat untuk datang. Pasti
banyak hal bisa kami dan Si Bocah peroleh untuk menambah wawasan. Bersyukur
saya mendapat tiketnya.
Pukul sepuluh malam sehari
sebelum Ofest, sebuah pesan singkat dari Ayah masuk. Akan ada ibu-ibu dari
Rembang akan menginap malam ini. Karena suatu hal, mereka harus pindah dari tempat
menginapnya selama ini. Mereka sudah dalam perjalanan dari Stasiun Cikini. Hebohlah
saya menyiapkan tempat hehehe.
Saya paham besok gagal ke
Ofest. Acara yang saya nantikan dari dua minggu yang lalu. Ada perasaan kecewa,
namun saya bisa mengelolanya karena memahami situasi yang ada. Saya pun hormat
dan salut dengan ibu-ibu ini. Tanpa lelah mereka berjuang. Ibu-ibu yang sadar
akan dampak buruk lingkungannya apabila gunungnya hilang. Gunung tempat dimana
sumber-sumber air berada. Di beberapa tempat di kotanya, Rembang, kekeringan
sudah mulai terasa.
Yang saya pikirkan adalah
ketika berbicara dengan Si Bocah ketika dia bangun. Tentang rencana yang
berubah. Saat menerima kabar akan ada yang menginap, Si Bocah sudah tidur.
Kami terbiasa membicarakan
kegiatan yang dilakukan bersama sebelumnya. Meskipun usianya masih balita, kami
mencoba selalu mengapresiasi pendapatnya. Komitmen mewujudkan kesepakatan yang
sudah dibicarakan bersama.
“Jadi kita tidak jadi ke
museum hari ini ? Di-cancel?” tanya
Si Bocah saat bangun pagi. Saya mengangguk.
“Ayah dan Bunda minta maaf. Semalam
ada teman-teman ayah datang dan menginap di sini. Ananda sudah tidur.”
Si Bocah tidak berkata
apa-apa dan keluar. Langsung menerima sapaan dari para ibu yang sudah bangun
dan sedang sibuk menyiapkan sarapan. Dia masuk kembali ke kamarnya.
“Iya, Bunda. Banyak sekali
teman ayah. Itu teman ayah yang rumahnya dekat gunung dan ada goanya ? Yang aku
pernah mandi di sana ?”
Saya mengiyakan. Si Bocah
tidak berkeberatan rencananya ke Ofest gagal meski agak sedih. Untungnya, dia
bertemu dengan Efi, teman serunya yang pandai menggambar dan lucu diantara para
ibu itu.
Di keseharian, kerap kita
menemui hal-hal di luar dugaan dan menggagalkan rencana yang telah diagendakan
sehingga memunculkan perasaan sedih atau kecewa. Sangat wajar dan itulah
kehidupan. Ada sedih bahagia, tertawa, tersenyum, dan airmata. Yang kita
perlukan adalah bagaimana memahami dan meresponnya.
Bagi banyak orang dewasa
mungkin itu hal biasa yang sering dihadapi. Namun tidak bagi anak-anak. Apalagi
di usia balita yang masih mengukur segalanya dengan suka atau tidak suka.
Mereka perlu mengenal, latihan, dan belajar.
Bagaimana mereka mempelajari
?
Dari peristiwa keseharian yang
dialaminya di rumah. Seperti kata Charlotte Mason bahwa lebih dari lingkungan
mana pun, rumah adalah sekolah perdana yang paling mengesankan bagi anak.
Mereka menyerap ide-ide pertama kali dari atmosfer kehidupan alamiahnya. Dari
cara ortunya berperilaku sehari-hari. Termasuk saat merasa sedih kecewa dan
bagaimana cara menanggapinya.
Sedih dan kecewa itu biasa.
Yang luar biasa bagaimana belajar menjalani dan memahaminya bersama anak-anak
kita.
0 Komentar