Bunyi gemuruh pertanda gunung meletus terdengar cukup keras dan mendominasi ruangan. Tidak berapa lama, seekor kuda muncul dengan melenguh-lenguh dan berlarian panik ketakutan ke semua penjuru.

Satu karakter memerankan manusia keluar. Menceritakan bagaimana dahsyatnya bencana yang terjadi akibat letusan gunung tertinggi se-Asia Tenggara ini pada tahun 1815. Tidak hanya berdampak kepada daerah dan semua makhluk hidup di sekitarnya seperti punahnya kuda tambora dan hilangnya ribuan nyawa, namun juga mempengaruhi perubahan iklim di Amerika dan Eropa sehingga mengakibatkan gagal panen di sana. Gunung Tambora. Gunung yang ada di Pulau Sumbawa, NTB.

Luar biasa sekali bukan ?

Itu adegan awal pertunjukan teater yang kami tonton hari ini di Museum Nasional. Si Rusak Rupa di Puncak Tambora. Kali ini kami menonton hanya berdua. Ayah absen karena harus keluar kota. 

Pembukaan yang mendebarkan sekaligus memantik rasa ingin tahu. Rasa deg-degan ternyata harus hilang ketika masuk adegan selanjutnya dengan kemunculan tokoh dari negeri Cina yang jenaka disusul oleh Presiden Amerika, James Madison. Si Bocah sempat terbahak-bahak melihat bagaimana tokoh dari negeri tirai bambu ini menari sambil meliuk-liukkan payung dan aksen bicaranya.

Memasuki pertengahan, adegan sedikit berat. Ekspresi serius, sedih dan prihatin novelis Marry melihat situasi yang ada disusul kemunculan tokoh imajinasinya - Frankenstein dan Si Rusak Rupa yang menunduk - membuat atmosfer sedikit sendu.

Saya amati Si Bocah mulai merasa tidak nyaman. Dia menunduk, pura-pura sibuk dengan karcis museum. Sampai-sampai dihibur seorang anak yang duduk di sebelahnya.

Saya hanya memperhatikan diam-diam. Membagi diri antara menikmati pertunjukan dan mengamati Si Bocah. Ingin tahu sejauh mana Si Bocah mampu menghadapi rasa tidak nyaman dan takutnya. Bila sudah tak tertanggungkan, ternyata dia ngelendot dan minta dipeluk sebentar kemudian duduk sendiri lagi.

Tawanya pecah kembali ketika Si Rusak Rupa mengangkat wajah. Ternyata wajahnya rusak karena banyak sekali tempelan stiker di sana. Mulai stiker berbentuk hati sampai kata-kata i love you. Bukan memakai rias wajah menakutkan sesungguhnya. Semua penonton tertawa. Di sebuah sudut, terdengar suara anak tertawa geli sampai lama sekali.

Bagaimanapun, teater ini diperuntukkan untuk anak-anak. Selalu ada bagian lucu dan gembira tentunya di sela-sela keseriusan dan kesedihan yang dimunculkan. Para pemainnya pun ramah dengan anak. Ada saat-saat ketika seorang anak menangis di tengah pertunjukan, dengan gaya improvisasi yang menarik, seorang pemain bisa membuat nyaman si anak sehingga berhenti menangis.

Senang sekali ada kegiatan akhir pekan di museum nasional seperti ini. Kegiatan positif untuk anak-anak. Melihat teater yang dikerjakan bersungguh-sungguh oleh Teater Koma adalah sebuah hal yang bisa dijadikan alternatif berkegiatan bersama keluarga di akhir pekan.

Pertunjukkan yang tidak lebih dari 25 menit ini ternyata melalui proses riset selama 3 bulan dan harus membaca sebanyak 30 buku untuk mewujudkannya. Bukan pekerjaan yang remeh tentunya.

Awalnya, saya mengajak Si Bocah melihat pertunjukan adalah membiasakannya mengapresiasi sebuah karya. Duduk ndeprok di lantai bersama yang lain, menahan diri untuk tenang dan bersuara pelan selama pertunjukan, sekaligus bertepuk tangan ketika usai. Menghargai sebuah kerja keras orang lain, tidak mudah mencela apalagi menghakimi akan sesuatu.

Namun rupanya, lebih banyak hal yang dipelajarinya. Seperti ketika melihat Si Rusak Rupa. Awalnya, dia sangat tidak nyaman. Di perjalanan pulang bertanya mengapa ada orang yang wajahnya ‘seperti itu’.

“Seperti itu bagaimana?” 

Dia pun menjawab wajahnya tidak biasa. Si Bocah tidak menemukan kata-kata yang pas. Wajah biasa maksudnya adalah ada dua mata, satu hidung, satu mulut seperti lainnya. Tidak ada tempelan stiker.

Kami pun ngobrol tentang adanya orang-orang yang terlahir sebagai disabilitas. Orang-orang yang diciptakan Tuhan sama dengan kita meski ada perbedaan. Tidak untuk kita pandang secara kasihan, namun untuk dihormati keberadaannya.

“Mereka juga tidak mau dilahirkan dalam keadaan seperti itu. Kita tidak boleh mengejek atau mengatainya. Mereka dan kita sama-sama manusia dan ciptaan Tuhan.”

Kami sedang di KRL. Tidak jauh dari kami, ada seseorang yang berjalan dengan lututnya. Terlihat tenang dan santai.

“Nda, seperti itu juga disabilitas ?” tanyanya lirih. Saya menganguk. “Tetap jalan kaki ya meski dengan lututnya?” Sekali lagi saya mengangguk. Si Bocah memandang sesekali dalam diamnya.  

0 Komentar