Bertemu Praktisi Charlotte Mason
“Atuk adalah seorang anak
laki-laki. Dia memiliki seekor anjing yang sangat disayanginya. Diberi makan
setiap hari, dimandikan, juga diajak berjalan-jalan. Suatu hari, segerombolan
serigala datang dan menyerang anjing Atuk sampai mati. Atuk sedih dengan
peristiwa itu sehingga bertekad untuk membalas dendam. Setiap hari, Atuk
berlatih mengolah tubuh agar bisa menjadi kuat dan mengalahkan si serigala. Ketika
akhirnya Atuk bertemu dengan serigala yang telah membunuh anjingnya, mereka pun
bertarung. Atuk menang. Meski menang, dia tidak bahagia. Anjingnya pun tidak
hidup kembali. Atuk tersadar bahwa menuruti marah dan menuntaskan dendam ternyata
tidak menyelesaikan masalah. Sebab masalahnya bukan pada serigala atau
anjingnya. Masalahnya ada pada Atuk bagaimana dia bisa mengelola emosinya
menghadapi sebuah peristiwa di perjalanan hidupnya.”
Sebuah cerita dari Rusia
yang dituturkan kembali oleh Mba Ayu. Seorang praktisi metode Charlotte Mason
di acara yang diinisiasi oleh komunitas belajar bersama. Mba Ayu bercerita
tentang kisah tersebut ketika menjawab pertanyaan galau saya.
Tentang Si Bocah yang
menangis dan menolak untuk dibacakan cerita yang mengandung kesedihan. Kalau pun
mau, dia meminta untuk bagian sedihnya dilewati saja.
Awalnya saya mengiyakan. Namun,
tetap ada perasaan ingin membacakan seutuhnya meski belum menemukan caranya. Bertemulah
dengan suhunya. Mba Ayu pun menceritakan tentang pengalamannya membacakan
cerita untuk anak pertamanya. Mirip dengan Si Bocah. Tidak nyaman bila
mendengar bagian sedih.
Alih-alih menghindarkannya
dan hanya membacakan cerita berisi suka cita, beliau membesarkan hati si anak. Membuatnya
nyaman saat mendengarkan cerita melalui sentuhan fisik seperti dipangku atau
dirangkul. Memancingnya dengan pertanyaan apakah tidak ingin mengetahui akhir
ceritanya yang bisa jadi ada pelajaran yang bisa didapat. Kesedihan atau perasaan
takut yang timbul dari cerita yang ada tidak apa-apa, toh ada
ibu/ayah yang mendampingi. Dia tidak sendirian.
Membacakan cerita yang hanya
berisi suka cita saja menurut Mba Ayu hanya akan menjauhkan anak dari realitas.
Kehidupan yang kita jalani itu tidak melulu tentang tertawa dan bahagia, namun
ada juga kesedihan, tangisan, atau perasaan mengharubiru lainnya. Itulah hidup.
Anak-anak pun harus mengenalnya sesuai dengan usia mereka.
Dari situlah pencerahan
muncul. Pertanyaan ‘mengapa’ harus membacakan buku-buku sastra bermutu tinggi
kepada anak-anak. Buku-buku yang lebih banyak memuat teks berbahasa indah daripada
ilustrasi. Kita mulai mengakrabkan mereka dengan teks/tulisan, juga mengambil
manfaat dari membaca sastra itu sendiri.
Selain menghaluskan
perasaan, juga mendapatkan makna dari sebuah cerita. Mempelajari sebuah
pengalaman tidak selalu harus mengalaminya sendiri. Bisa kita dapatkan dari
bacaan-bacaan bermutu misalnya.
Metode Charlotte Mason
menekankan untuk membacakan buku-buku bermutu. Living books. Buku-buku inspiratif berbahasa indah yang mampu mengerakkan
imajinasi, menumbuhkan ide, dan perasaan halus seseorang. Buku-buku yang
ditulis dengan sepenuh jiwa oleh orang-orang berdedikasi tinggi. Setiap kali selesai
membacanya, selalu ada perenungan dan aha moment
tentang sebuah ide. Bukan
buku-buku berjenis twaddle. Buku-buku
teks kering sarat akan fakta miskin imajinasi yang harus dihafal tanpa tahu
untuk apa selain menjawab pertanyaan di ujian sekolah. Buku-buku cerita hasil
rombakan dari cerita sebenarnya. (saya baru ngeh
kalau buku disney termasuk twaddle)
Mba Ayu pun sempat
menyinggung tentang efek hanya membacai buku-buku berjenis
twaddle ini. Buku-buku tersebut tidak membawa anak kemana-mana. Tidak
ada ide yang terbersit. Pikiran mereka pun menjadi kosong. Kondisi tersebut
yang memungkinkan banyak hal negatif masuk seperti narkoba, pornografi, atau
kekerasan/bullying.
Ulasan menarik. Membahas
satu pertanyaan saja bisa panjang seperti ini. Masih banyak pertanyaan mengenai
metode Charlotte Manson ini. Ibu pendidik luar biasa yang hidup di tahun
1800-an. Sang Guru yang ide-idenya masih relevan sampai sekarang.
Saya beruntung bertemu para praktisi CM. Membaca metode
Charlotte Mason di buku ‘Cinta Yang Berpikir’ karya Ellen Kristi kerap membawa
saya ke banyak pertanyaan. Sebagaian pertanyaan itu terjawab oleh para praktisi
ini dan sebagian masih perlu saya cari jawabannya sambil terus berjalan.
Bertemu, berbagi, dan mendatangi sumber pengetahuan seperti ini adalah kebutuhan
bagi saya. Pengalaman seru saat memutuskan mendidik sendiri anak adalah banyak
belajar. Belajar tentang apapun.
Membayangkan andai anak-anak
sejak dini dikenalkan dengan living books.
Bersama ortu, guru, dan orang dewasa lainnya belajar bersama membaca bacaan
bermutu. Akan bermunculan orang-orang luar biasa dengan ide-ide brilian yang
bermanfaat bagi semua makhluk. Mungkinkah ?
Sangat mungkin kalau kita
mau belajar membaca bersama. Sudahkah kita membaca buku bersama anak-anak di
sela rutinitas kerja hari ini ?
0 Komentar