Perjalanan Mencintai Gunung ( II )
‘Melihat goa?’ tanya Si
Bocah ketika mendengarkan rencana kegiatan yang akan dilakukan besok. Saya
mengiyakan.
‘Kita akan naik truk lagi
bersama teman-teman ayah ke desa di bawah gunung kapur. Desa Larangan namanya.
Lalu melihat goa.’
‘Up and down again?’ saya tergelak mendengarnya. Jalan pedesaan
terutama di pegunungan di wilayah Pati ini memang banyak yang tidak beraspal.
Jalan tanah yang kalau musim kemarau berdebu dan kalau musim hujan becek sekali
sehingga bila kita melewatinya agak tergoncang-goncang. Si Bocah sepertinya
terkesan dengan sensasi goncangan sebab sering nyaris jatuh hehehe.
Meski begitu, alih-alih
jera, Si Bocah menyukai petualangan yang ada. Dia senang akan ada perjalanan
lagi naik truk. Tanpa banyak persyaratan, Si Bocah berangkat tidur lebih awal
dari jam tidurnya. Dia paham kalau harus bangun pagi-pagi, tidak bisa mbangkong seperti kebiasaannya kalau di
rumah.
Saya pribadi bertanya-tanya,
mengapa ayah dan teman-temannya ini memilih naik truk daripada kendaraan lain ?
Apakah karena penduduk setempat kerap menggunakan truk untuk kegiatan yang
melibatkan banyak orang ?
Pagi cerah. Perjalanan
menuju Desa Larangan berjalan lancar. Sepanjang perjalanan, Si Bocah bernyanyi family fingers bersama dengan
kakak-kakaknya. Sesekali berteriak dan tertawa-tawa ketika truknya tergoncang
keras karena jalan yang tidak rata.
Ketika ayah dan
teman-temannya sibuk berbincang dengan bapak ibu di Desa Larangan, Si bocah pun
asyik sendiri bermain di luar. Mengejar unggas, loncat-loncat berusaha menyentuh
buah jeruk bali di pohonnya, dan juga main tanah yang basah sampai belepotan di
sana sini. Menggelap dan kotor. Ndeso
banget (sampai ada ibu-ibu yang
bertanya ke saya apakah tidak apa-apa Si Bocah mbladus seperti itu hahahaha).
Anak yang dijadikan bahan
perbincangan datang menghampiri. ‘Aku punya sesuatu, Nda’, katanya sambil
membuka genggaman tangannya. ‘Tada! Kerikil putih!’
‘Wah, bagus !’ Si Bocah
mengiyakan. ‘Tapi ini bukan kerikil putih. Ini batu kapur.’
‘Batu kapur ? Kok kecil ?’
Perbincangan tentang batu
kapur pun terjadi. Darimana asalnya, untuk apa saja batu kapur itu, dan bisa
digunakan sebagai apa.
Ayah dan teman-temannya
sudah selesai ngobrol. Oleh penduduk
setempat diantarkan melihat goa yang ada di bawah gunung. Jalannya menanjak dan
melewati ladang jagung. Agak gatal rasanya kulit kena bulu di daun jagung itu.
Namun saya diam saja, malu dengan balita yang sepertinya biasa saja melewati
daun jagung itu.
Di bibir goa, teman-teman
ayah turun dan masuk. Awalnya, saya dan Si Bocah menunggu di luar. Tetapi
ternyata dia ingin turun. Jadilah dengan digendong ayah, dia pun mendapat
pengalaman pertamanya masuk goa. Saya memilih tetap menunggu di luar karena
tidak nyaman dengan gelap.
Keluar dari goa, Si Bocah
terlihat senang. ‘Bagaimana di dalam goa?’
‘Gelap tetapi aku tidak
takut.’ Hm... ‘Nda, apakah di bawah gunung kapur itu banyak goanya?’
‘Mengapa?’
‘Aku ingin melihat goanya.
Kata temannya ayah, ada air di dalam goa. Kita bisa berenang juga. Tetapi goa
yang kulihat tadi tidak ada airnya. Aku mau melihat goa yang ada airnya.’
Hohohoho, kalau sudah lebih
besar, mungkin ayah mau mengantarmu, Nak. Semoga goa-goa di bawah gunung itu
masih ada. Sebab, bila gunungnya hilang dikeruk batu kapurnya, goa-goa yang
kamu ingin lihat itu pun besar kemungkinan hanya tinggal cerita.
0 Komentar