‘Nda, Ada Jagung di Hidungku’
Mendengar kata-kata Si
Bocah, sontak saya berhenti mengetik. Kaget. Segera saya cek lubang hidungnya.
Sesuatu berwarna kuning terlihat. Benar ternyata, ada jagung di hidungnya. Rasa
panik pun muncul sebab ini kali pertama mengalami hal seperti ini. Kepanikan yang
menular, berimbas pada pecahnya tangis Si Bocah (ah, belajar untuk tenang itu
tidak mudah saudara-saudara).
Melihat gelisahnya Si Bocah
yang tidak mau diapa-apain selain dipeluk, saya pun memilih menuruti
permintaannya. Memeluk sambil menunggunya tenang. Tidak berkomentar apapun.
Setelah agak tenang dan
tinggal sesengukan saja, saya pun mencoba bertanya tentang perjalanan jagung
sampai ke hidung itu. Kebetulan dua hari ini, Si Bocah senang sekali makan
jagung rebus. Hari pertama, dia makan jagung dengan cara digigit dari
bonggolnya. Tidak ada masalah. Hari kedua, minta jagung rebus yang hanya
bijinya, siap dimakan memakai sendok. Dari sinilah cerita dimulai.
‘Karena mulutku sudah penuh,
maka jagungnya kumasukan hidung. Kan sama-sama
lubang, jadi masuk’. Hadeuh...
Jawaban khas balitakah ini ?
Sebab ternyata, kasus memasukkan biji-bijian kecil ke dalam hidung kerap terjadi
di anak-anak. Sifat ingin tahu dan aktivitas mencoba apa pun adalah sifat dasar
mereka.
Saya pun mencari tahu
bagaimana cara mengeluarkan biji jagung tersebut. Mulai meniup mulut Si Bocah
sampai mencoba menyedotnya memakai mulut melalui lubang hidungnya. Tindakan konyol
mengelitiki hidung Si Bocah dengan rumput agar bersin pun gagal. Si Bocah
memang bersin, namun jagungnya tetap bertahan di hidung.
Kami berniat membawanya ke
dokter ketika ayahnya pulang, tetapi Si Bocah menolak. Menangis cukup keras dan
mengatakan kalau tidak apa-apa. Dia masih bisa bernafas. Kami melihat jagungnya
memang tidak menutup jalan nafasnya. Kami pun memutuskan untuk menunggu besok.
Keesokan harinya, Si Bocah
terlihat biasa saja. Tidak ada tanda-tanda bila ada sebutir jagung sejak
semalam di dalam hidungnya. Tidurnya nyenyak. Anaknya ceria, aktif, dan cerewet.
Berkegiatan menempel dan mewarnai dengan gembira diselingi menyanyi lagu-lagu
yang disukainya.
Saya mencoba menyimpan
kegelisahan. Sesekali memintanya untuk bersedia ke dokter. Si Bocah menolak
dengan raut murung. Ketika saya mengatakan kalau jagung yang ada di dalam
hidung harus dikeluarkan karena berbahaya, Si Bocah diam. Tetapi tetap menolak
ke dokter.
Saya pun mengalah. Memilih mengajarinya
mengeluarkan udara melalui hidung dengan mulut ditutup dengan agak keras. Namun,
bukan hal yang mudah ternyata. Si Bocah malah bermain-main dan tertawa-tawa
dengan cara ini. Jujur antara jengkel, khawatir, juga mau tertawa menjadi satu.
Selepas ashar, biji jagung
masih bertahan di hidungnya. Saya pun mengajaknya ngobrol. Singkat kata, kami bersepakat ke dokter kalau ayah datang.
Si Bocah menghampiri saya
ketika selesai mandi, sambil mengusap-usap hidungnya. Dia bilang hidungnya
gatal dan ada ingusnya. Saya memintanya untuk mencoba menghembuskan udara
kuat-kuat melalui hidungnya dengan mulut dan satu lubang hidung ditutup. Satu
kali, dua kali, hanya ingus yang keluar. Ketika kalinya saat saya meminta lebih
kuat lagi ada jagung meloncat keluar.
Alhamdulillah! Lega sekali
melihatnya. Kami pun berpelukan sambil tertawa senang.
‘Kita tidak ke dokter kan, Nda?’ Saya menggeleng yang langsung disambut dengan sorakan
senang. Hehehehehe, pergi ke dokter ternyata bukan hanya menakutkan untuk
ibunya, namun juga anaknya.
0 Komentar