Salah satu konsekuensi dari pilihan untuk mendidik anak secara mandiri adalah memperkaya bacaan.


Membaca buku-buku yang saya anggap perlu dan membuka wawasan khususnya tentang jalur pendidikan yang saya pilih untuk Aro. Walaupun kadang berat ditengah kesibukan domestik dan godaan nonton drama berjilid-jilid, namun saya berusaha untuk terus membaca dan menuliskannya kembali. 


Sejauh ingatan saya, beberapa buku karya praktisi pendidikan rumah telah saya baca. Kebanyakan membahas pengalaman mereka sebagai orang tua homeschooler. Sampai kemudian saya menemukan buku “Unschooling : Exploring Learning Beyond the Classroom” karya Gina Riley. Sebuah buku yang ditulis dengan cara berbeda dari buku-buku yang selama ini saya temui. 


Tak seperti buku-buku lain yang ditulis berdasarkan pengalaman keseharian, buku yang membahas khusus tentang unschooling ini ditulis berdasarkan riset, referensi, dan teori yang diramu oleh penulisnya. Selain sebagai unschooler, Gina Riley sendiri juga seorang guru dan peneliti. Hm…sebuah kombinasi yang unik bukan ?


Baginya, memilih  menjadi unschooler itu bukan kemudian 'mengharamkan' sekolah formal. Keduanya merupakan hal yang berbeda namun memiliki tujuan sama dalam pendidikan.  Jadi tidak perlu dipertentangkan. Kesimpulan ini diperoleh setelah membanding dua model pendidikan ini secara “seimbang”. Khas pandangan peneliti hehehe


Riley menyebut bukunya ini sebagai buku pertama yang membahas unschooling secara akademik. Disamping mendapat dukungan dari Peter Gray, koleganya yang juga penulis buku Free to Learn, ia juga mendapat pengaruh besar dari teori Self-directed Learning dari Edward Deci. Sebuah teori yang menyakini bahwa anak itu belajar karena dorongan dari keinginannya sendiri. Pada buku ini pun, penulis mengklaim bila banyak penelitian kritis tentang unschooling sendiri.

***

Pada bagian awal,  pembaca seperti diajak menyusuri sejarah pendidikan khususnya gagasan tentang unschooling. Sebuah gagasan yang tidak muncul secara tiba-tiba namun hasil dari buah pikiran yang terus dihidupi oleh banyak pemikir dari masa ke masa. 


Butuh jeda berkali-kali untuk mencerna apa yang saya baca. Sempat ingin berhenti tapi memutuskan membaca lagi karena sebagai pelaku pendidikan rumah apalagi jika menggunakan metode unschooling, alangkah baiknya jika tahu sejarahnya. Agar tidak gagap dalam proses. Motivasi yang mendorong saya untuk terus membaca. Semangat, semangat!


Unschooling muncul pertama kali di Amerika pada tahun 1970-an. Lahir dari kegelisahan para ortu yang merasa ada yang salah dengan sistem pendidikan di sekolah formal. Kegelisahan sekaligus ketidakpuasan itu kemudian membuat para ortu berani mengambil langkah berani. Mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah. Sebuah tindakan berani sebab dalam perjalanannya, keputusan mereka mendapat banyak tentangan dan cercaan.


Berjalannya waktu, gagasan ini pun banyak diambil para ortu. Dengan berbagai alasan, mereka pun memilih mendidik sendiri anak-anak di rumah. Jumlah ortu yang memilih mendidik sendiri anaknya ini semakin bertambah banyak dan meluas. Tidak hanya di Amerika, gagasan dan praktik unschooling ini pun masuk ke banyak negara sampai sekarang.


Menurut Riley, sejarah pendidikan manusia modern terbentang panjang seturut usia peradaban. 


Ketika manusia masih berburu, anak-anak bebas bermain dan belajar sesuai dengan keinginan mereka, bereksplorasi juga. Ortu mereka tidak mengajari secara khusus namun bila anak-anak itu ingin tahu dan membutuhkan bantuan, mereka dengan senang hati membantu. Anak-anak pun jika ingin ikut kegiatan orang tuanya seperti berburu, membuat senjata atau pun memasak hewan buruan diperbolehkan. Semacam transfer kebudayaan atau cultural tramission tanpa ribet menformalkannya (unschooling banget ini nih). 


Situasi berubah ketika manusia memasuki masa bertanam dan menetap kemudian disusul zaman Renaissance/Pencerahan dimana ilmu pengetahuan mulai dikelompokkan (fakultas). Ada filsafat, musik, astronomi, sastra, dll dll sampai sekarang ini.


Setelah masa Renaissance, kemudian bermunculan para pemikir pendidikan. Dalam buku ini secara khusus dibahas beberapa pemikir yang kemudian menjadi cikal bakal gagasan unschooling. Mulai dari J.J Rousseau dengan buku Emile yang mengatakan jika belajar itu adalah proses menemukan dan mengidentifikasi ketertarikan dengan melibatkan cara berpikir kritisnya. Meski di Emile ini terlihat pemikiran Rousseau masih child-center, namun menjadi hal penting karena menjadi tonggak pemikiran bahwa belajar itu tidak boleh melupakan anak melupakan subyek utamannya.


Pemikir lain, Dewey, dalam bukunya  My Pedagogic Creed, mengatakan jika naluri dan kekuatan pada anak-anak sendiri sudah lebih dari cukup untuk memulai sebuah pendidikan. Dewey tidak membahas apapun tentang homeschooling atau pun unschooling di sini. Konteksnya adalah mengupayakan sebuah pendidikan yang lebih baik.  Namun, gagasannya sangat dekat dengan ide unschooling (klaim penulis buku, bukan saya hehehe). 


Quote Dewey : “I believe that education, therefore, is a process of living, and not preparation for future living.


Ketampar-tampar banget kan ? Atau saya saja ya ? Hahahaha. Biasa saya dengar ungkapan 'sekolah yang pintar untuk hidup yang lebih baik (baca ; mapan)'. Quote Dewey ini membuat saya kembali merenungkan ulang apa itu pendidikan. Apalagi Dewey mengamati bahwa belajar dan kehidupan itu tak bisa dipisahkan, menyatu. 


Sekali lagi, unschooling banget. Belajar itu ya menjalani kehidupan itu sendiri. Belajar tidak dimaknai secara sempit.


Dari Dewey kemudian penulis mengajak kita berkenalan dengan  A.S. Neill. Neill memilih cara berbeda dalam menyikapi ketidakpuasannya akan sistem sekolah formal. Ia mendirikan sekolah alternatif Summerhill yang berbeda dengan sekolah formal saat itu. Summerhill menekankan pada motivasi intrinsik saat anak-anak belajar dengan penekanan pada kegembiraan, rasa ingin tahu, juga imajinasi. Peran orang dewasa lebih sebagai fasilitator.


Yang namanya gagasan pasti berkembang dan menyebar seiring berjalannya waktu.


Neill memilih mendirikan sekolah alternatif sebagai jawaban atas persoalan pendidikan, ada pula Ivan Illich yang lebih gahar lagi. Dalam karyanya, Deschooling, Illich berpendapat bahwa sekolah formal itu 'tidak bisa direformasi' jadi perlu dipikirkan ulang konsepnya. Keras tanpa tendeng aling-aling. 





Gagasan Illich ini memantik keingintahuan John Caldwell Holt - seorang guru - akan pandangan-pandangannya. Mereka pun berkorespondensi. Dari korespondensi dan melihat kenyataan-kenyataan mengecewakan di lapangan selama menjadi guru, Holt kemudian membuat gagasan sekaligus gerakan luar biasa bersama beberapa orang tua murid. Mengeluarkan anak dari sekolah dan dididik oleh mereka sendiri. Mereka menggunakan istilah unschooling saat itu.


Holt tidak berhenti disitu. Dia  pun menulis buku, menerbitkan majalah Growing Without Schooling yang berisi tentang pengalamana para ortu mendidik anak mereka sendiri - menunjukkan bahwa ada cara lain dalam belajar yang menyenangkan di luar sekolah dan mengadvokasi para ortu yang mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah karena saat itu, memilih mendidik sendiri anak tidak semudah saat sekarang. Banyak sekali tantangan dan hambatannya.


Tak bisa ditampik bahwa Holt memiliki peran penting pada kemunculan gagasan unschooling ini. Tanpa dorongan dari Holt, gerakan itu entah kapan terjadi. Bisa dikatakan, John Holt itu bapak unschooling.


Hari ini, banyak orang tua yang cukup percaya diri mendidik anaknya sendiri. Orang mungkin lebih famiiiar dengan kata homeschooling di sini. Unschooling lebih cenderung dipahami sebagai salah satu metode saja selain metode-metode lain yang digunakan.


Cukup panjang bila menengok sejarah tentang gagasan ini. Namun, memilih sesuatu seperti pendidikan anak dengan kesadaran dan pemahaman akan sejarah yang mengiringi itu lebih ‘menenangkan'.


Sebenarnya, ulasan tentang sejarah unschooling ini masih awalan. Riley banyak mengulas unschooling di bab selanjutnya berdasarkan teori Deci. Juga bagaimana  gagasan unschooling atau  homeschooling ini berkembang dan terus dihidupi oleh para praktisinya termasuk pandangan-pandangan mereka ketika memutuskan untuk mendidik sendiri anaknya, tidak mengirim ke lembaga formal. 


Semoga saya bisa menuliskan lanjutan dari isi buku ini. Layak sekali dibaca meski kadang ada sisi-sisi membosankan khas buku-buku berbau riset hahahaha. Sayang belum ada versi Bahasa Indonesia. 



0 Komentar