Dari jum'atan ke jum'atan: Bagian pertama
Cerita Obi - Ayah Aro - setelah dirayu berkali-kali untuk membuat satu tulisan tentang kesehariannya menjadi bapak rumah tangga sekaligus ortu yang tak menyekolahkan anaknya.
***
"Yah, kenapa bunda ga jum'atan?" tanya Aro
"Ya karena jum'atan hanya wajib untuk laki-laki. Bunda shalat dhuhur di rumah," jawab saya waktu itu.
"Kenapa hanya untuk laki-laki?"
"Hm...suatu saat nanti ayah akan ceritakan. Sekarang Aro menemani Ayah ya," pungkas saya menutup dialog agar pertanyaannya ga tambah rumit.
Obrolan yang terjadi sekitar 4-5 tahun lalu saat kami masih tinggal di Depok.
Jumatan membawa kami, terutama Aro, pada pengalaman yang beragam. Seru tapi terkadang juga menjengkelkan.
Misalnya tentang khotbah. Saat ia di rumah kakeknya, penceramah shalat jumat menggunakan bahasa Jawa. Jelas saja Aro tidak paham. Ia hanya mendengar ceramah sebagai bunyi-bunyian asing seperti saat ia mendengar orang tuanya ngobrol dalam bahasa Jawa. Tak ada masalah di sini.
Namun lain lagi ceritanya ketika penceramahnya berbahasa Indonesia. Pernah suatu hari ia pulang dengan muka kecut.
"Kenapa Ro?" tanya bundanya.
"Tadi yang ceramah ga asik!"
"Kok ga asik?"
" Masa orang yang ga puasa akan dimasukkan neraka? Lha aku kan belum kuat puasa," sambungnya sedih.
" Hm… begitu ya? Menurut bunda sih kalau belum kuat ya ga apa-apa, bisa latihan dulu." kata ibunya menenangkan.
Kami, orang tuanya Aro, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berbeda. Bundanya dibesarkan di keluarga Jawa yang tidak terlalu religius. Sementara saya dibesarkan di sebuah keluarga yang super religius. Bagaimana tidak, rumah orang tua saya nempel banget dengan mushola tertua di kampung. Jadilah perpaduan orang tua yang unik alias beda dalam merespon pengalaman Aro berkenalan dengan agama. Tapi kami sepakat tidak bertengkar lho mesti berbeda😃
Kami pun sering "membilas" informasi apapun yang di dengar atau dibaca Aro di luaran sana.
Prinsip kami, beragama itu harus menyenangkan dan jauh dari ancaman. Apalagi untuk anak yang tidak bersekolah formal seperti Aro. Pemahaman tentang spiritualitas dan religiusitas juga harus dikenalkan dengan cara-cara yang dialogis. Dogma dan "pokoknya harus percaya" menjadi hal yang sebisa mungkin kami hindari. Apalagi dengan gambaran neraka stensilan a la tahun 90-an yang melegenda itu. Nggak banget deh.
Ada pepatah Jawa bilang gething nyanding, yang kira-kira artinya orang kadang didekatkan dengan hal yang sangat tidak disukai. Isu tentang neraka ini kami dengar lagi belakangan. Saat Aro mulai mengaji di masjid dekat rumah yang baru kami tempati sekitar dua bulan belakangan ini.
Masjid ini telah ada berbarengan dengan pembangunan perumahan yang kami tempati. Sejak itu pula masjid ini ramai dengan kegiatan selain shalat berjamaah, misalnya TPQ. Ada dua aktivitas mengaji di TPQ ini, sore setelah shalat ashar dan malam setelah maghrib.
Ngaji sore lebih panjang waktunya. Selain mengaji dan belajar menulis huruf hijaiyah, juga ada ceramah yang disampaikan pak ustadz. Aro memilih untuk ngaji sore karena menurutnya lebih seru.
"Banyak temannya, Yah," katanya dengan semangat. Kami pun mengiyakan saja saat ia dengan semangat menyiapkan tas dan alat tulisnya. Satu setengah jam berselang. Ia pulang dengan wajah sendu sambil bercerita tentang pak ustadz yang bercerita tentang neraka sebagai tempat untuk mereka yang berdosa.
"Kenapa sih harus cerita tentang hal-hal yang menakutkan? Kenapa harus ada dosa?" Protes Aro pada kami.
Kami pun ngobrol. Tentang pandangan kebanyakan, tentang perbedaan, tentang pilihan dan konsekuensinya. Tema yang telah kami bicarakan di awal ketika Aro ingin mengaji di masjid kompleks kembali dibicarakan.
"Ya kalau gitu aku mau ngaji malam saja," kata Aro seperti menemukan solusi untuk masalahnya.
Hari berikutnya, ia melewatkan shalat Ashar dengan bermain hingga petang datang. Tak sampai adzan maghrib, selesai, ia sudah rapi jali dengan baju koko, celana kain dan tas di punggung.
"Aku berangkat dulu ya," pamitnya.
"Have fun," jawab ibunya.
Ngaji malam kali ini sukses diikuti dengan ngaji di beberapa malam berikutnya. Rutinitas membawa tas dan belajar nulis akan dijeda untuk pembacaan tahlil pada malam jum'at dan libur ngaji padai hari minggu.
Sampai suatu malam ia pulang dengan muka masam.
"Sepertinya aku perlu jeda ngaji," katanya memulai cerita.
"Kenapa," tanya ibunya.
"Tadi bu ustadz nya cerita yang aneh-aneh lagi. Katanya kalau malam-malam itu banyak setan di sekitar kita,"
"Hm....misalnya?"
"Ya kalau kita tidak cepat tidur dan memilih tidur malam, itu nanti ada setan yang menemani kita. Terus katanya kalau kita tidak bangun subuh, itu tandanya ada air liur setan yang menetes di mata kita. Jadinya susah terbuka," ceritanya panjang lebar.
"Lha kamu tadi tidak bertanya ke bu ustadz mengapa?"
"Ga bisa. Kata bu ustadz, cerita itu hanya untuk didengarkan. Tidak untuk ditanyakan."
Bundanya hanya menanggapi 'oh begitu' kemudian mengajak makan malam dulu. Perlu energi juga untuk obrolan yang 'lumayan' ini.
Setelah Aro tidur, kami berdiskusi tentang pengalaman Aro mengaji belakangan ini.
Mengapa ustadz yang ada di kompleks ini memilih pendekatan keamanan untuk menganjurkan anak-anak melaksanakan ibadah? Mengapa tidak menggunakan pendekatan tentang nikmat yang akan diberikan Allah jika melaksanakan ibadah? Apakah ancaman dan hukuman dinilai sebagai cara yang paling efektif untuk mengajak anak beribadah? Pertanyaan yang masih terus kami cari jawabannya sambil menyesuaikan dengan konsep unschooling yang kami jalani.
Dalam literatur unschooling, tak banyak yang mengulas tentang sisi spiritualitas dalam praktik belajar secara mandiri ini. Apalagi dalam konteks Indonesia. Namun Sandra Dodd, veteran unschooling, memang sejak jauh-jauh hari mengatakan bahwa perjalanan keluarga unschooling memang akan berbeda antara satu dengan yang lain.
Tak ada buku saku atau standar bagaimana konsep unschooling ini akan diterjemahkan dalam keseharian. Yaudah kalau begitu, berarti memang harus lebih sering ngobrol untuk membicarakan tentang cara yang pas bagi Aro untuk mengenal agama dan Tuhannya.
Kembali ke soal Jum'atan…
Ada lanjutannya minggu depan😊
0 Komentar