Masih cerita Obi, Ayah Aro. Melanjutkan pengalaman minggu lalu

***

Saya memerlukan waktu agak lama untuk menyambung tulisan sebelumnya. Pasalnya harus mencari satu kutipan kalimat yang menjelaskan tentang hukumnya anak-anak-anak bermain di masjid. 


Setelah mencari-cari lumayan lama, sekitar 5 menit, saya menemukan kutipan dari Sultan Muhammad Al-Fatih yang mengatakan: " Jika tak terdengar lagi gelak tawa anak-anak diantara shaf shalat kalian, maka takutlah akan kejatuhan generasi masa itu." 


Menjadikan masjid menjadi tempat yang ramah anak. Begitu mungkin yang menjadi maksud dari pengelola masjid di dekat rumah kami. 


Agar anak-anak gemar shalat Jum'at, pengelola masjid menyediakan kudapan untuk mereka. Satu nampan besar diletakkan di bagian samping masjid. Siapapun warga perumahan boleh mengisinya setiap hari jum'at. Menunya berganti tiap minggu, ada risoles dan puding, roti basah, nasi kuning dll. Ide menarik.


Namun, tidak adanya mekanisme antrian atau nomer tiket untuk mengambilnya membuat semua anak, kadang juga orang dewasa, akan berebut  seusai jum'atan. Ada yang kebagian, ada yang dapat dua, ada pula yang tak kebagian. Saya tidak ikut namun sengaja membiarkan Aro untuk mengalami battle for food ini dengan caranya sendiri.


Suatu kali ia pulang dengan muka sedih.

"Kenapa Ro?" tanya saya.

"Aku tadi didorong orang berkali-kali pas mau ambil makanan," ceritanya

"Kenapa?"

"Kan aku sudah di dekat makanan. Terus aku bingung pas mau milih makanan. Karena ada beberapa pilihan. Terus pas aku lagi mikir itu aku didorong dari samping,"

"Terus kamu dapat makanannya?"

"Nggak..."

"Ya lain kali kalau situasinya gitu, langsung ambil saja. Ga usah kelamaan mikir," jawab saya panjang lebar sok solutif.  Wah...ternyata jum'atan itu keras, lur!



Obrolan yang membuat kami, orang tuanya, mikir bagaimana menyikapi berebut makanan ini. 


Bagi bundanya, rebutan makanan menjadi hal yang nggak banget. Saru. Ya mungkin ia ga terima juga anaknya didorong berkali-kali hanya untuk rebutan makanan. "Mending kita beli saja, Ro" katanya. 


Namun bagi saya, yang survival mode-nya selalu nyala sejak kecil, rebutan makanan itu jadi hal yang seru dan perlu. Kadang bukan makanannya yang penting tapi bagaimana cara mendapatkan dan perasaan puas bisa mendapatkannya. Terselip juga rasa keren karena berhasil menyingkirkan anak lain untuk mendapatkan makanan. Dua pendapat yang diametral. 


Akhirnya kami memilih  cara masing-masing untuk menguatkan Aro. Bunda mengambil bagian  mengkalibrasi emosi Aro agar semangat lagi untuk jum'atan dan tidak putus asa. "Ya jum'at depan kamu coba lagi saja kalau kamu mau dapat makanannya, tapi satu kali saja ya," katanya lengkap dengan catatan kaki. 


Sementara saya malah teringat satu episode dari Kuroko No Basuke, anime tentang perjalanan sebuah tim bola basket. Ada satu episode yang ceritanya anak-anak tim basket junior diminta oleh para seniornya untuk mendapatkan roti istimewa dari kantin sekolah. Repotnya, roti ini hanya dijual seminggu sekali. Jadi semua murid pasti berebut untuk mendapatkan roti ini. Situasi yang mirip dengan apa yang dihadapi Aro saat jumatan.


"Ro,  sepertinya ayah punya satu anime yang mirip ceritamu di masjid," kata saya menawarkan.

"Apa?"

"Ini tentang tim basket. Kamu mau lihat?"

"Mau."


keriuhan untuk mendapatkan roti kegemaran


Jadilah ia menonton satu episode anime yang lalu keterusan jadi banyak episode.

Aro tak langsung menemukan solusi. Baru beberapa hari sebelum jumatan, ia menemukan strategi untuk mendapatkan jajan jumatan.


strategi Aro


Sehari sebelum jumatan, ia main dengan Ota, teman ngajinya. Dalam sesi bermain ini mereka membicarakan strategi yang diperlukan untuk mendapatkan jajan. Aro bercerita  strateginya ini.

"Jadi nanti kami akan duduk di dekat tempat jajan itu, Yah."

"Hm....kenapa?"

"Ya kalau duduk dekat jajan kan berarti ga harus lari untuk ambil jajajn dan pasti ga pakai berebut." Jawabnya seperti mempresentasikan strateginya.

"Ok...."

***

Hari Jumat pun tiba. Dia sengaja berangkat lebih dulu. Mungkin untuk mencari posisi strategis.

Sementara saya memilih untuk berangkat setelah adzan terdengar. Aro mendatangi saya begitu memasuki masjid.

"Yah...Ota ga menepati janji."

"Kenapa?"

'Ga tahu. Dia memilih duduk dekat teman yang lain."

"Ok...kamu duduk dekat Ayah saja."


Jumatan berjalan dengan tenang dengan saya terkantuk-kantuk saat khotbah seperti biasa dan Aro diam di sebelah. Atmosfer berubah ketika sholat selesai. Tatapan Aro ke saya berbalas dengan anggukan. Seperti bisa mengartikan anggukan ayahnya,  ia pun langsung beranjak, berjalan cepat ke spot tempat snack di sisi lain masjid.  


Saat perjalanan pulang, ia terlihat gembira sambil membawa satu kotak plastik.

"Kamu dapat jajannya?"

"Ya. Tadi aku berjalan cepat ke dekat tempat jajan sambil bilang permisi, permisi. Sampai di sana, belum banyak orang," ceritanya bersemangat.

"Oh ya?"

"Ya, anak-anak lain kan mungkin shalatnya di lantai dua. Jadi mereka belum sempat turun,"

"Ok...apa jajannya?"

"Ini ada kue bolu dan risoles."

"Sip! Good job."


Menemani perkembangan anak tak hanya sekedar mengetahui apa yang ia lakukan dan ia baca namun juga menjadi sparring partner baginya untuk memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Jika ia menghadapi masalah, orang tua bisa menjadi teman berdiskusi untuknya menemukan jalan keluar. Bukan malah memberikan solusi instruksional a la bu Tejo yang kadang tak terlalu nyambung dengan game plan yang yang akan dimainkan  anak.  Meski tak jarang, karena alasan itu perintah orang tua, maka anak-anak (mau tak mau) harus melakukan.


Tumbuh kembang anak tak hanya berkaitan dengan sisi fisik dan mental, tapi juga emosional dan spiritual. 


Saya suka pepatah India yang dikutip oleh salah seorang peserta diskusi di FB nya Sandra Dodd ini: "... everyone is a house with four rooms, a physical, a mental, an emotional and a spiritual. Most of us tend to live in one room most of the time but, unless we go into every room every day, even if only to keep it aired, we are not a complete person."


Selesai dan terimakasih telah berkenan membaca.


Mission accomplished.

0 Komentar