Kuatkan Mental, Nak
Memilih mendidik anak di rumah itu pilihan yang memerlukan banyak pertimbangan. Selain melihat bagaimana legalitasnya, cara menjalani, dan sumber daya yang ada, juga mempersiapkan mental. Mental kita dan anak kita.
Mengapa ?
Meski kita tidak memasang pengumuman di pagar bahwa kita tidak menyekolahkan anak, tidak menunggu waktu lama, tetangga di kanan kiri akan mengetahuinya. Begitulah kata Sandra Dodd, dedengkot homeschooling dari Amerika dalam bukunya Sandra Dodd's Big book of Unschooling. Pernyataan yang saya anggap hanya pengetahuan dari teks buku sampai saya mengalaminya sendiri.
Walaupun mendidik sendiri anak di rumah ini sudah banyak yang menjalani namun tak bisa dipungkiri pilihan ini masih asing dan aneh bagi sebagian besar masyarakat kita. Termasuk tetangga kami.
Ketika kami pindah tempat tinggal sekitar beberapa bulan lalu, pertanyaan yang sering muncul dari tetangga kebanyakan sekitar anaknya sudah sekolah belum atau kelas berapa. Saat tahu anak saya tidak bersekolah, respon yang muncul pun beragam. Dari mempertanyakan apakah anak saya sakit, mengalami gangguan, sampai anggapan 'mungkin tak ada biaya' muncul. Walau pun yang terakhir ini tidak muncul secara terang-terangan dan lebih pada dugaan saya, namun pertanyaan menyelidik mengarah kesana. Hahahahaha😄
Keputusan mendidik sendiri anak di rumah awalnya adalah keputusan ortu. Keputusan saya dan Obi. Aro sebagai anak masih mengikuti saja.
Seiring berjalannya waktu dan bertambah usia, Aro pun berhak mengetahui mengapa kami memilih untuk tidak mengirimkannya ke sekolah. Mengapa ia berhak tahu? Ya karena dia sebagai subyek di sini yang perlu tahu dasar keputusan homeschooling ini. Juga saat kami memilih PKBM, ia pun kami ajak bicara. Memilih fair dalam menjalani kehidupan bertiga adalah prinsip kami. Terlebih, tantangan dan situasi yang diterima Aro akibat 'tidak sekolah' ini pun ternyata tidak lebih ringan dari ortunya. Tidak menutup kemungkinan akan lebih berat. Apalagi pergaulan anak-anak sekarang tidak bisa dianggap lempeng dan 'baik-baik saja'.
Teman-teman kompleks di sini semuanya bersekolah. Meski selama pandemi mereka sama-sama belajar di rumah, namun tetap berbeda. Mereka ada dalam strata kelas dan nama sebuah sekolah yang dilekatkan. Ada yang namanya tugas, ujian, dan seragam meskipun belajar di rumah. Ada waktu yang jelas untuk 'belajar'. Berbeda dengan Aro yang belajar di rumah memang karena tidak bersekolah.
Awalnya, teman-temannya tidak mempermasalahkan dia bersekolah atau tidak. Bermain saja. Namun, setelah beberapa kali bermain bersama tetiba ada obrolan diantara mereka yang mengatakan bahwa anak yang tidak bersekolah tidak punya cita-cita, anak yang tidak sekolah jadi bodoh tak tahu apa-apa, dan lain-lain. Labeling yang luar biasa sekali.
Kami tidak mengetahui pembicaraan seperti apa di antara para tetangga dengan anak-anak mereka. Kami pun tidak bisa mengontrol atau pun mengaturnya. Yang bisa kami lakukan adalah menjaga Aro. Mengajaknya mengobrol dan mempererat bonding yang ada antar-kami sebagai anggota keluarga.
Speak up adalah salah satu cara yang kami gunakan. Tidak bersekolah bukan berarti tidak belajar. Tidak bersekolah bukan berarti tidak punya cita-cita. Yang pasti, memilih homeschooling merupakan tindakan yang dijamin oleh hukum. Itu yang selalu kami katakan pada Aro.
Kami tidak mungkin mengurung Aro di rumah dan melarangnya bermain dengan teman-temannya. Sebagai anak tunggal dan hidup di perumahan yang cukup banyak anak-anak seusianya berseliweran, kami memilih mengijinkannya bermain di luar dengan konsekuensi berani menerima resiko, seperti hal-hal yang saya sebutkan di atas.
![]() |
Bermain bersama teman |
Namun, kami pun memiliki kewajiban melindungi Aro dari hal-hal yang mungkin di luar batas yang bisa ditanggungnya. Kadang, saya pun memilih menariknya masuk untuk jeda. Pergaulannya di luar kami umpamakan imunisasi. Tidak selalu menyenangkan namun efek jangka panjangnya bisa jadi membawa kebaikan bila bisa direfleksikan.
Praktisi homeschooler harus bermental kuat. Salah satu alasannya adalah situasi lingkungan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa menggunakan satu cara atau meniru apa yang dilakukan praktisi lain sebab situasinya bisa jadi mirip atau bahkan tidak sama saat tantangan muncul.
Mendidik anak di rumah pun tidak bisa copas dari keluarga yang lain. Bisa saling mendukung namun jalan ninja masing-masing keluarga berbeda-beda. Baik dan cocok menurut satu keluarga, belum tentu bisa dilakukan di keluarga yang lain.
Mengambil istilah Pam Laricchia dalam bukunya The Unschooling Journey, memilih mendidik anak di rumah itu seperti menjadi pahlawan bagi cerita kehidupan kita sendiri. Wujudnya bisa bermacam-macam: ”The hero with a thousand faces.” Pam mengambil istilah ini dari Campbell seorang peneliti mitos seluruh dunia yang menulis buku dengan judul yang sama. Mungkin pahlawan itu tidak bertopeng atau juga berjubah dan malah seperti kita pada umumnya, namun yang jelas harus bermental kuat.
0 Komentar