"Rumahnya di belokan depan itu, Nda!" Saya membelokkan motor sesuai petunjuk Aro. "Parkirnya di depan rumah putih itu lalu kita jalan kaki."

"Kamu yakin?"

"Ya", jawabnya pasti.

Kami ke rumah Mba Lilik. Seorang perempuan yang sering bekerja di tempat kakek Aro. Pagi itu kami datang mewakili kakek dan nenek mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya mertua Mbak Lilik.

Aro menjadi penunjuk jalan sebab dia yang tahu arah menuju rumahnya. Entah berapa kali ia ke sana ikut kakek. Berbeda dengan saya yang tidak tahu mana-mana meski sebenarnya tempatnya hanya tetangga desa saja. 

Mba Lilik senang bercampur kaget kami datang. Tak menyangka saya yang datang. Manusia goa akhirnya keluar hahaha. Ngobrol sebentar, kami pun berpamitan.

Pohon belimbing wuluh dan cabai puyang

Desa mbak Lilik ini menarik. Berbeda dengan desa kami, orang-orang di desa ini banyak yang memelihara hewan ternak. Hampir di setiap rumah. Sepertinya mereka juga suka menanam. Terlihat dari pekarangan rumah yang hampir semuanya hijau dan rimbun dengan banyak tanaman. Ada jeruk lemon, jeruk Bali (pomelo), jahe merah,jeruk purut, mangga, belimbing wuluh dan lainnya. Senang melihat banyak tanaman. Mbak Lilik memberikan pada saya beberapa bibit binahong merah untuk ditanam di rumah. Binahong ini juga dikenal sebagai obat merah Jawa karena kemampuannya menjadi tanaman yang dapat menutup luka. Dari sini semakin percaya kalau silaturahmi itu memanjangkan umur.

Hari masih pagi saat kami memulai aktivitas. Saat kami berangkat dari rumah tadi, jarum jam belum menunjuk angka tujuh. Biasanya jam segini kalau di Depok, Aro masih bergelung memeluk guling. Berbeda dengan di desa. Jam 5 sudah bergerak ke sana sini sebab kehidupan desa yang mayoritas penduduknya petani. Mereka biasa bangun sebelum matahari terbit. Jadi bertamu sebelum jam 7 juga wajar saja di sini.

Selesai dari rumah mbak Lilik, kami pun pulang dengan melewati jalan yang berbeda.  Di tengah jalan, kami melihat seorang ibu dan anak laki-laki sedang menjemur kerupuk singkong atau sadariah di atas papan panjang dari anyaman bambu (widig).

Kebetulan yang menyenangkan kan? Kami pun berhenti dan minta ijin melihat-lihat juga bertanya-tanya. Saya berpikir ini kesempatan untuk kami mengenal lebih jauh tentang proses pembuatan sadariah langsung dari ahlinya. 

Saya dan Aro sama-sama belajar dari pembuat sadariah ini. Meski sebenarnya mereka sudah membuatnya lama sekali, sejak saya masih kecil, namun pengetahuan saya tentang kerupuk ini minim sekali. Tidak pernah pelajaran di sekolah menyinggung profesi mereka. Padahal, desa ini mampu mengirim berton-ton kerupuk sadariyah ke seluruh Indonesia.


Saya banyak bertanya tentang proses pembuatan kerupuk yang terkenal dengan rasanya yang gurih dan renyah ini. Ibu pembuat sadariah ini mulai bekerja dari sore kemarin. Ia memulai dengan membuat adonan dari singkong kemudian dilanjutkan dengan memotong kerupuk tipis-tipis sebelum subuh  lalu lalu menatanya di atas widig untuk dijemur. Biasanya ada ibu-ibu dengan sistem kerja borongan yang membantu. Kenapa memotongnya pagi buta? Sebab, mereka mengejar matahari. Sebelum matahari muncul, kerupuk harus sudah tertata di atas widig dan dijemur agar mendapat panas yang sempurna.

Satu lagi nasehat yang saya dapat pagi ini: Tidak boleh bermalas-malasan atau menunda-nunda.


Sementara saya banyak bertanya, Aro belajar dengan caranya sendiri. Ia lebih suka melihat sekitar, berkeliling, mengamati sesuatu dan  memasukkan pengetahuan apapun yang menarik menurut versinya. Tidak banyak pertanyaan terlontar meski Aro sempat ikut menata, merasakan tekstur kerupuk yang masih basah namun lembut, dan mencium aromanya. Dia hanya berkomentar, "Harum dan lembut ya kerupuknya kalau masih basah." Bertanya ya nanti di rumah saat kami ngobrol tentang foto-foto yang saya ambil.


Bahan baku singkong untuk membuat kerupuk sadariah ini ternyata tidak bisa sembarang singkong. Singkongnya diambil dari dataran tinggi lereng Gunung Kelud. Bertruk-truk dikirim dari sana. Mengapa harus singkong dari sana? Bukannya singkong juga banyak di desa sekitar? Menurut Ibu pembuat sadariah, singkong dataran tinggi memiliki kadar air yang lebih rendah sehingga lebih bagus dijadikan bahan adonan kerupuk dibandingkan dengan singkong dari dataran rendah. 


Pagi yang kaya sekali bagi kami. Saya menemukan banyak hal menarik, begitu juga Aro. Meski sedikit sekali ceramah yang muncul, namun banyak pengalaman kami dapatkan. Termasuk petualangan mencoba jalan setapak yang kami lalui saat pulang. Kata Aro, jalan itu seperti membawa kami masuk ke dunia mimpi. Lha, tidur lagi dong ? 😄

0 Komentar