Bertanya ; Cara Anak-anak Mengenal Dunia
"Nda, ini kok nama anggota keluarga yang tertulis hanya dua?"
"Seharusnya berapa?"
"Tiga kan? Namaku belum ada."
Obrolan ini terjadi ketika ada petugas pencocokan dan penelitian (coklit) datang mencocokkan data pemilih untuk Pilkada yang akan datang. Kunjungan dua petugas berkaos putih dengan logo KPU itu hanya sebentar, namun cerita saya dan Aro masih berlanjut.
Aro memulai dengan pertanyaan kenapa namanya tidak tertera di daftar pemilih. Pertanyaan ini menjadi pintu untuk saya menjelaskan tentang batas usia 'diakui' oleh negara dengan bukti memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan boleh mempunyai SIM juga. Aro pun meminta ijin untuk meminjam KTP dan SIM saya. Dua kartu kecil milik Saya pun berpindah ke tangan Aro yang segera membacanya dengan detail, bahkan nama dan tanda tangan pejabat terkait pun tak luput dari amatannya. Bila ada yang tak ia mengerti, maka ia akan bertanya. Seperti kata “status” pada KTP. Untuk penggunaan kartu kecil ini, Aro lumayan paham sebab seringnya dia sering “bertugas” menyerahkan KTP ortunya bersamaan dengan tiket kereta atau pesawat untuk diserahkan kepada petugas penjaga pintu masuk.
Selesai dengan dua kartu itu, rasa ingin tahu Aro belum tuntas. Beralih ke KK (kartu keluarga) karena tadi petugas sempat minta dokumen ini untuk mencocokkan data. Jamak semua orang tahu bahwa kartu keluarga itu penting untuk urusan dengan negara, tapi ya itu saja. Tidak ada yang menarik. Saya juga beranggapan seperti ini. Namun ternyata anak-anak memiliki anggapan berbeda. Selembar kertas itu berisi hal-hal menarik apalagi ada nama-nama yang akrab bagi mereka. Kartu keluarga bukan hal yang biasa-biasa saja.
Selembar kertas yang memantik rasa ingin tahu akan banyak hal dan memunculkan beragam pertanyaan. Ditambah lagi, kebetulan kami sedang di rumah kakek neneknya Aro. Perjalanan kartu keluarga mereka lebih menarik ceritanya sebab dari hanya berdua, jadi bertiga sampai kemudian bertujuh dan kembali bertiga lagi dan bahkan ada satu masa kakek dan nenek harus mutasi mutasi kk ke kota lain gegara persyaratan atau kuota haji. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dan tidak jarang membuat saya kelabakan juga.
Melihat, mengamati, dan kemudian mencatat reaksi Aro dalam menanggapi sebuah kejadian seperti kedatangan petugas pencocokan data pemilih ini semakin meneguhkan pandangan saya betapa pentingnya belajar secara kontekstual. Dari sisi anak, mereka memahami apa yang dipelajari dengan konteks dan keterkaitannya dalam kehidupan. Tidak di awang-awang sebagai hal aneh yang perlu dihafalkan saja. Selain itu, karena kontekstual, pemahaman yang didapatkan pun utuh dan cukup detail bahkan tidak menutup kemungkinan apa yang dibahas akan meluas ke banyak hal seperti dari nama ortu yang tertera lalu membahas silsilah keluarga.
Seperti kata Budi Darma pada sebuah artikelnya, "Sebagaimana halnya ilmu pengetahuan, keinginan tahu itu berdasarkan deret ukur; begitu sebuah keinginan tahu terjawab, serangkaian keinginan tahu yang lain akan bermunculan."
Proses belajar model seperti ini pun terbilang mudah karena berdasarkan pada pengalaman. Anak-anak terlihat lebih santai, tidak diburu-buru saat menuntaskan rasa ingin tahunya. Ortu hanya perlu mendampingi dan menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa ceramah bertele-tele yang tidak perlu.
Kuncinya hanya pada kesediaan meluangkan waktu, ngobrol, dan percaya anak-anak itu mengerti. Terlihat sederhana namun dalam praktiknya, ini tantangan yang cukup berat. Mendampingi anak-anak belajar bukanlah sesuatu yang remeh terlebih bila kita pun harus bekerja. Diperlukan keluwesan, kesepakatan, dan juga pengertian di antara kita dan anak-anak.
Memang tidak mudah. Namun anak-anak sebenarnya adalah individu yang sangat pengertian akan situasi kita. Ngobrol dan membicarakannya dengan jujur akan situasi yang ada mungkin bisa menjadi satu pilihan sebab anak-anak pun akan senang bila tahu kita percaya kepada mereka.
0 Komentar