"Berhasil, Nda! Gelembungnya bisa besar dan tak mudah pecah!" 

Aro kemudian menunjukkan keberhasilannya membuat gelembung. Dengan pipi menggembung dan bibir mengerucut, ditiupnya cairan sabun itu. Berulang-ulang. Meski manual dan bibirnya pegal, Aro menikmati apa yang dilakukannya.

Permainan sederhana dan sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi anak-anak termasuk Aro. Yang membedakan baginya adalah pengalaman yang beda.

Dulu, bermain gelembung sabun ini saya yang meniup dan dia, sambil berteriak-teriak gembira, berusaha menangkapnya. Sekarang, Aro mempersiapkan sendiri apa yang dibutuhkan. 

Awalnya, dia hanya menggunakan sabun dan air sebagai bahan membuat gelembung. Berhasil meniup berulang-ulang namun dia mendapati kalau ada saat susah sekali membuat gelembung ini. Tiupannya sering gagal menghasilkan gelembung sebab pecah sebelum lepas dari alat peniupnya. Berkali-kali sampai Aro pun jengkel. Bertanya kepada Saya apa sebabnya.
Kami pun kemudian mencoba mencari tahu.

Ternyata, untuk membuat gelembung sabun itu elastis dan tidak mudah pecah, selain sabun diperlukan bahan lain. Gliserin. Kami pun berpandangan. Sama-sama paham jika mendapatkan gliserin cukup susah di sini. Harus ke toko di luar desa dan menempuh jarak minimal 3 km. Padahal, kami sangat mengurangi keluar-keluar selama pandemi ini. Beli online? Bukan pilihan kami juga. Aro sedikit kecewa.

Saya pun mengenalkan tentang kebiasaan mencari alternatif saat bahan yang diperlukan tidak tersedia. 

"Apa bisa, Nda?" 

"Kita coba dulu. Bisa atau tidak, baru tahu setelahnya. Itu ada peribasanya, tak ada rotan, akar pun jadi."

Aro mengangguk-angguk senang. Entah paham atau tidak. 

Kami pun mulai lagi mencari informasi pengganti gliserin ini dan kemudian menemukan gula putih.
Ternyata berhasil. Bersukacitalah dia sekarang. Dua hari berturut-turut main gelembung sabun. 


Kegembiraan yang membawa ke hal baru lagi. Aro mendapati kulit tangannya mengering dan mengelupas. Gelisah dan takut menjadi satu. Setengah hari dia tidak melakukan apa-apa. Hanya merenungi tangannya. Di saat-saat seperti ini, Saya memilih tidak banyak berkomentar. Menjawab jika dia bertanya saja seperti ketika mencari tahu penyebab kulitnya mengelupas. 

Bagi saya, mengenal dan mengakrabi emosi itu penting bagi anak-anak,  baik itu yang positif maupun negatif. Tujuannya agar ke depannya, Aro mahir mengelola dan mengatur emosinya sendiri. Tidak reaksioner atau pun mudah ambyar.

Kakeknya tahu apa yang sedang terjadi. Beliau pun lalu bercerita kalau anak-anak seusia kakek itu membuat gelembung tidak memakai sabun. Sabun adalah barang mewah dulu. Mereka bermain gelembung dengan getah jarak dan peniupnya menggunakan  tangkai daun lamtoro.

Cerita tentang masa lalu bagi Aro itu mirip time travel. Selalu menarik.
Kebetulan di sebelah rumah ada kebun kosong dengan deretan pohon jarak sebagai pagarnya. Jadilah keesokan harinya kami pun main  kesana. Menderas getah jarak. Memperhatikan tetes demi tetes berjatuhan. Cukup lama. Basic sekali. Kalau mau cepat dan instan ya pakai sabun.

Kesabaran menderas ini perlu latihan. Bagi saya dan Aro. Sambil menunggu getah cukup, saya sempat bercerita bahwa menderas itu juga dilakukan oleh orang yang mencari nira kelapa atau siwalan. Tetapi tidak ditunggui, tempat menderas dibiarkan di atas pohon semalam. Namun, mereka harus berani memanjat pohon kelapa atau siwalan yang tinggi.

Setelah lima belasan menit duduk menampung getah, akhirnya terkumpul jumlah yang memadai. Segera saja saya mengambil daun lamtoro yang kebetulan juga ada di pagar. Aro mencelupkan alat peniupnya. 

Fuu... gelembung-gelembung kecil segera terbang berhamburan pada tiupan pertama. Aro pun bersorak senang. Mendapati getah jarak ini anti gagal dalam membuat gelembung. Yang paling penting lagi, tangannya tidak mengelupas lagi, hanya ada efek lengket saat kena getahnya.
Ketekunan mengumpulkan tetes-tetes getah jarak pun terbayar.

0 Komentar