@Arminas Raudys
Berelasi dengan anak itu tidak melulu berisi senang dan tawa. Berbagai emosi pasti ada, campur baur baik yang positif maupun negatif. Ada saat-saat situasi terlihat berat sehingga jebol juga pertahanan sabar melihat perilaku anak-anak. Tetiba, mereka terlihat menjengkelkan dan melelahkan. Membuat segalanya memusingkan dan buat jengkel.

Minimal, itu situasi yang saya alami. Saya tidak bisa mengatakan berelasi dengan Aro itu selalu manis seperti es krim yang penuh sakarin. Ada satu kondisi saya perlu mengibarkan bendera putih tanda butuh bantuan kepada Obi. Memintanya mengambil alih peranan mendampingi Aro. Saya perlu jeda dan bersunyi sejenak. 

Gaya sekali ya ? Jadi ibu kok lelah minta jeda, jadi ibu itu ya harusnya super power, ga boleh sakit, lelah, dan selalu wangi ceria. 

Hal ini dulu saya pikir biasa saja. Lumrah sebab kami bersepakat mendidik anak itu bersama. Tidak memakai model suami yang fokus bekerja mencukupi kebutuhan dan istri yang mengurus semua urusan domestik termasuk anak-anak. 

@Aro
Ternyata, ada situasi dimana saya dan Aro hanya berdua. Obi berada di luar kota sampai berminggu-minggu. Ketika situasi saya penuh dan butuh jeda, tidak ada pemain pengganti. Situasi kritis. Emosi saya benar-benar tidak stabil (bukan labil). Berat dan membingungkan. Ujung-ujungnya semua salah di mata saya. Jelas korban nyatanya, Aro. 

Sesuatu yang sangat tidak sehat dan tidak boleh berlarut-larut. Kondisi moody ini harus disikapi. Kalau tidak, bisa dibayangkan betapa sengsaranya anak saya.

Apalagi kami sudah memutuskan mendidik sendiri Aro di rumah.
Saya dan Obi pun ngobrol. Ternyata, Aro ikut bergabung, jadinya kami pun ngobrol bertiga. Saat itu usia Aro belum genap 6 tahun. 

Dari ngobrol itu, kami bersepakat bahwa di antara kami bertiga harus jujur. Termasuk jujur saat kondisi sedang down atau tak nyaman. Masing-masing punya hak mendapatkan ruang sendiri. Aneh awalnya, apalagi ada anak 6 tahun yang terlibat.

Namun, kami percaya bahwa melihat orang tua yang apa adanya, bisa salah, sedih, rapuh, marah, bingung, atau gembira adalah sesuatu yang penting bagi perjalanan perkembangan Aro. Alih-alih menunjukkan ortu yang platonik dan sempurna, kami lebih cocok menunjukkan sisi manusiawi yang tidak sempurna.

Di salah satu bukunya, John Holt menceritakan bagaimana murid-muridnya tahu saat dia sedang tidak enak hati. Meski Holt tidak bilang langsung, namun ada tanda-tanda yang bisa dilihat mereka, yaitu bagian dahi ke atasnya memerah. Kalau warna itu muncul, murid-muridnya paham bahwa situasinya tidak menguntungkan untuk berbuat yang aneh-aneh. Mereka bersikap lebih kooperatif. 

@Obi
Saya senang dengan cerita ini. Lebih fair memberitahu anak kita ketika kondisi sedang tidak baik agar mereka pun bersiap dan bisa memilih bagaimana bersikap. Selain itu menunjukkan ortunya manusia juga, bukan robot yang datar dan tidak pernah salah. Anak-anak pun belajar berempati dan mengenali banyak emosi sehingga terlatih menyikapinya. 

Jadi sekarang menjadi suatu hal yang biasa ketika saya bilang, "Ro, Bunda sedang perlu sendiri sebentar. Aro main sendiri dulu ya sampai jarum panjang di angka ini."
Aro pun paham, tidak merasa diabaikan atau apa. Begitupun sebaliknya, saat Aro minta sendirian pun, saya iyakan tanpa bertanya kenapa.

"Children can learn a great deal from many of the "unhappy" 
experiences from which we try so hard to protect them"
- John Holt -

0 Komentar