Menyusuri Ciliwung
“Beneran kita mau turun ke
sungai?” Saya mengangguk.
“Sungai Ciliwung yang di bawah Jembatan Panus itu?” Saya kembali mengangguk.
Sontak dia pun mengiyakan sambil berputar-putar senang.
“Sungai Ciliwung yang di bawah Jembatan Panus itu?” Saya kembali mengangguk.
Sontak dia pun mengiyakan sambil berputar-putar senang.
Itu adalah reaksi Aro saat
saya menawarinya ikut kegiatan komunitas. Menyusuri dan bersih-bersih Sungai
Ciliwung. Sungai yang dekat sekali dengan tempat kami tinggal. Sungai yang
arusnya bergemuruh cukup jelas bila musim hujan. Sungai yang hampir setiap hari
kami lihat meski dari kejauhan. Tidak asing tetapi juga tidak terlalu
mengenalnya. Mirip perumpamaan ‘dekat tetapi tak terlihat’ mungkin ya? Walau melihatnya
hampir setiap hari, ide turun dan menyusurinya adalah sesuatu yang baru.
Sungai Ciliwung adalah sungai
legendaris, kata orang. Kita mungkin kerap mendengar namanya disebut saat musim
hujan sebagai tersangka utama banjir di Jakarta. Semua media memberitakannya.
Meski sebenarnya hal tersebut tidak sepenuhnya benar juga.
Sungai Ciliwung sendiri
seperti sungai-sungai lain di berbagai tempat, adalah saksi bisu semua sejarah di sebuah tempat.
Sungai ini di masa lalu adalah jalur transportasi satu-satunya yang
menghubungkan Batavia (Jakarta) dengan Buitenzorg (Bogor). Di saat Depok
menjadi tanah partikelir milik Cornelis Castelein, Sungai Ciliwung ini pun
menjadi jalur penting sekaligus pintu masuk wilayah tersebut. Sungai Ciliwung
juga menjadi salah satu sumber air masyarakat sekitar dan tempat biota sungai
hidup. Banyak jenis-jenis ikan air tawar di sungai tersebut, bahkan buaya dan
kura-kura pun ada (bulus putih).
Rencananya, Aro bersama teman-teman komunitasnya akan berkunjung ke Komunitas Ciliwung yang ada di bawah Jembatan Grand Depok City. Oleh kakak-kakak yang disana kemudian akan dikenalkan tentang Sungai Ciliwung dan reptil. Kami pun akan menyusuri pinggiran sungai sambil membersihkan sampah-sampahnya.
Rencananya, Aro bersama teman-teman komunitasnya akan berkunjung ke Komunitas Ciliwung yang ada di bawah Jembatan Grand Depok City. Oleh kakak-kakak yang disana kemudian akan dikenalkan tentang Sungai Ciliwung dan reptil. Kami pun akan menyusuri pinggiran sungai sambil membersihkan sampah-sampahnya.
Sayang, sehari sebelum
kegiatan hujan turun deras. Arus sungai menjadi deras dan kondisi tanah di
sekitarnya licin. Ada ortu yang pergi ke lokasi untuk melihat kondisi di
lapangan. Demi keamanan sebab yang ikut kegiatan anak-anak usia lima sampai
sepuluh tahun dan ‘anak kota’, kami pun mengundurkan waktunya.
Kok bisa ? Bisa saja, sebab
kegiatan ini sifatnya mandiri. Kegiatan yang diinisiasi para ortu di komunitas
yang kebetulan tidak mengirim anaknya ke sekolah. Begitulah kegiatan kami. Konsekuensi
tidak mengirim anak ke lembaga formal adalah ikut merasakan pusing
menfasilitasi kebutuhan mereka belajar selain memikirkan beayanya secara
mandiri. Walaupun seringnya didaku kalau anak homeschooling itu enak,
kerjaannya main dan jalan-jalan melulu. Percayalah, dibalik yang kelihatan
indah itu ada yang ruwet-ruwet di belakangnya yang mungkin tidak terlihat
melalui foto-foto di Instagram.
Syukurlah, minggu depannya
cuaca cerah terus. Jalur susur sungai aman dan kegiatan pun bisa dilakukan. Saya
dan Aro baru kali pertama ke Komunitas Ciliwung di bawah jembatan GDC ini. Antara
deg-degan dan penasaran. Meski di bawah jembatan, ternyat tempatnya cukup
lapang dan menyenangkan. Kalau dari jalan besar tidak tampak, Ada tangga turun
ke bawah untuk menuju ke sana.
Setelah sesi mengenal reptile a.k.a ular dan menyentuh juga menggendongnya, kami pun bersiap susur sungai. Setiap orang membawa satu botol bekas air mineral dan bambu kecil. Gunanya saat menemukan sampah plastik untuk dimasukkan ke dalam botol dengan bantuan tongkat bambu tersebut.
Pemandangan sepanjang Sungai
Ciliwung memberi pengetahuan baru bagi saya dan Aro. Jalan tanah yang kami
lalui awalnya cukup lebar lalu mulai mengecil. Ada saat-saat jalan menanjak
atau turun cukup curam. Di sepanjang sungai, bambu tumbuh dimana-mana. Rumpun
bambu ini banyak sekali gunanya seperti menjaga sumber-sumber air yang ada di
sekitar sungai. Menurut kakak di Komunitas Ciliwung, satu batang bambu mampu
menyimpan 2.5 liter air. Itu mengapa berada di rerimbunan rumpun bambu terasa
sejuk selain daun-daunnya juga memproduksi oksigen. Satu lagi, keberadaan rumpun
bambu di sepanjang sungai sebenarnya juga berfungsi menjaga pinggir sungai agar
tidak mudah longsor.
Baru saya tahu juga ternyata
Sungai Ciliwung ini masih digunakan masyarakat sekitar untuk keperluan
sehari-hari seperti mencuci dan mandi. Beberapa kali saya melihat orang-orang
mencuci di pinggiran sungai dan anak-anak yang asyik bermain dan berenang dalam
kelompok.
Lha, kan air sungai kotor? Iya.
Mungkin, memang mereka tidak memiliki akses ke air bersih dan tidak memakai
PDAM sebab seorang ibu yang saya tanya mengatakan bahwa untuk keperluan mandi
dan mencuci mereka biasa di sungai. Jawaban yang membuat saya termenung-menung.
Jarak tempat tinggal mereka tidak jauh dari kami namun ternyata ada kehidupan
yang berbeda sekali.

Saat itu, air sungai sedang
surut. Kami bisa turun sampai bebatuannya. Melihat air jernih yang terjebak di
cekungan batu. Beberapa hewan kecil melintas, juga sampah. Banyak sekali sampah
menempel dimana-mana. Sampah tertinggi yang nyangkut di batang-batang bambu
adalah bukti seberapa tinggi debit air sungai pernah melintasi.
Kegiatan playdate yang membuka
mata dan menghaluskan hati. Selama menyusuri sungai ini, bayangan saya
kemana-mana. Tentang imajinasi river view yang indah dengan
sampan-sampan kecil dan rumpun juga bunga-bunga indah. Imajinasi yang langsung buyar
ketika di depan saya ada ibu-ibu yang dengan tekun mengucek pakaian dengan peralatan
seadanya di bilik sempit di tepian Sungai Ciliwung.


“Permisi ya, Bu. Numpang
lewat”.
“Iya, silahkan.”
Untungnya, playdate ditutup
dengan kegiatan dadakan yang menyenangkan. Beberapa anak meminta turun dan
berenang merasakan sentuhan air Ciliwung. Dengan perahu karet dan terjun bebas
ke sungai, mereka tertawa-tawa gembira. Tak risau dengan air coklat keruh yang
entah membawa apa saja. Kotor? Bau Atau
bahkan resiko kena jamur kulit ? Ah, kadang kita sepertinya perlu merasakan
juga. Hidup toh tidak melulu senang dan indah.
Pengalaman yang luar biasa
bagi saya. Entah, apa yang berkecamuk dalam benak Aro. Yang pasti, kami tahu
bahwa sungai memiliki peran penting dalam kehidupan. Bukan tempat sampah
raksasa dan harus dijaga. Aro pun sempat mencover lagu Ciliwung dari Sanggar
Merah Putih. sila klik
0 Komentar