Nasi Liwet Bunga Telang
“Wah, bunga telangnya banyak sekali! Dimana-mana,
Nda!” teriak Aro pagi ini. Tanamannya untuk kali pertama berbunga lebih banyak
dari sebelumnya. “Bisa kita buat apa ya selain untuk minuman dan kubuat mainan
saat hujan ?” Nah...pertanyaan intimidatif khas anak-anak muncul.
Ketika tahu bisa dimasak dengan nasi, dia jadi
bersemangat. “Nasinya jadi biru ya nanti? Mau, Nda! Apa kita punya
bahan-bahannya?”
Sebuah pertanyaan yang biasa muncul saat kami
berencana membuat sesuatu. Aro lalu melihat kotak bumbu. Memeriksa
bahan-bahan yang diperlukan. Sereh? Cek. Bawang merah? Cek. Daun salam ?
Cek,tinggal petik. Horai! Aro pun bersorak senang sebab artinya ide
memasak nasi bunga telang bisa dieksekusi segera. Lain ceritanya kalau
ada bahan yang tidak ada, maka kegiatan selanjutnya adalah berjalan kaki
mencari pak sayur atau menunda dulu.
Kebiasaan ngobrol tentang menu makanan sudah cukup
lama kami bangun. Sejak usianya 4 tahun, saya sudah melibatkan Aro dalam urusan
masak memasak. Awalnya hanya menanyakan makanan apa yang diinginkan sebab
tanduk saya bisa muncul kalau masakannya tidak dimakan hanya karena alasan
tidak selera atau tidak sesuai keinginan. Aro bisa menolak sebuah makanan dan
tidak akan ada paksaan dari siapa pun untuk memakannya bila makanan tersebut
ada tanpa sepengetahuannya.
Seiring perjalanan waktu, dia terlibat lebih banyak.
Bisa mencuci sayur, memotong, atau mengupas. Semua hasil potongan diterima
seunik atau seabstrak apapun bentuknya. Tak ada standar kerapian dan ukuran
yang sama. Yang penting harus cuci tangan sebelum memotong bahan makanan. Di
sela-sela beraktivitas, kami bercakap-cakap tentang apapun yang terlintas.
Mengomentari bahan yang ada, tentang warna, tekstur, aroma, dimana mereka
tumbuh, dan lainnya. Kadang juga ngobrol tentang masa kecil saya.
Wah...pasti lama ya ? Ya, cukup lama memang. Kalau
saya memasak sendiri, 30 menit
selesai. Berbeda bila melibatkan Aro. Acara memasak
bisa memakan waktu dua jam. Biasanya kami memasak untuk dimakan di atas pukul
sebelas. Sarapan biasa dengan buah atau apapun yang ada.
Karena durasi yang panjang, kegiatan memasak bersama ini tidak setiap hari kami lakukan. Hanya dua atau tiga kali dalam seminggu dengan catatan tidak sedang bergegas atau dikejar kebutuhan lain.
Kami memilih memasak karena ini jadi kegiatan
bersenang-senang bersama yang murah meriah dan mudah. Dari kegiatan ini
ternyata kami menemukan banyak hal menarik yang bisa ditambahkan untuk
meluaskan wawasan. Semacam penambahan nilai ekonomi pada suatu barang mungkin
ya ? (kelihatan tidak mau rugi )
Pengetahuan tentang bagaimana perjalanan suatu makanan
sampai terhidang di meja menjadi jelas untuk Aro melalui aktivitas masak
memasak ini. Makanan bukan suatu hal yang abrakadabra puff...muncul begitu
saja. Ada banyak usaha dan perlakuan yang harus dilakukan sehingga wajib
disyukuri apapun yang tersedia. Begitu pun dengan barang-barang yang lain.
Alasan lain adalah saya tidak mau mendengar cerita
tagihan jebol karena memesan makanan melalui aplikasi atau memasak mie instan
di rantau hanya karena tidak bisa ketrampilan dasar ini. Berdasarkan webinar
dari rumahinspirasi
yang saya ikuti, penyaji (Mas Aar) menuliskan bahwa memasak masuk ke dalam 10
ketrampilan dasar yang perlu dikuasai anak-anak. Membuka kesempatan untuk
anak-anak mengalami proses kemandirian dalam memenuhi dan mampu memproduksi
makanan untuk dirinya sendiri adalah tugas ortu.
Memang ini bukan sebuah pelajaran sekali paham.
Pembicaraan mengenai makanan berlangsung sebentar-sebentar namun berkali-kali.
Tidak terpaku dengan waktu dan materi belajar sebab memang gaya belajarnya
spontan. Ada saja yang dibahas. Aro menyukai cerita-cerita seputar
makanan-makanan yang memiliki hubungan dengan orang-orang dewasa yang
dikenalnya. Mungkin terlihat lebih nyata dan merasa familiar.
Seperti nasi liwet bunga telang ini. Makanan yang
tersaji karena perpanjangan dari sebuah cerita tentang kebiasaan kakek neneknya
yang menanam banyak tanaman di pekarangan. Bila memerlukan sayuran atau cabai,
tinggal ramban (petik) saja. Kebiasaan ramban cukup berkesan buat Aro sehingga
tumbuhlah beragam tanaman di halaman belakang, bunga telang salah satunya.

Wacana ideal sebenarnya. Meskipun mengamini, pada
kenyataannya tidak selancar dan selempeng harapan. Ada saat-saat saya pun lepas
kendali. Bukan hanya tanduk, ekor pun berubah menjadi sembilan. Kalau sudah
dalam posisi ini, saya pun mengibarkan bendera putih ke ayah Aro. Tidak
terlihat ideal dan sempurna. Ya memang begitulah saya. Bukti nyata bahwa sabar
itu bukan bawaan namun hasil dari latihan. Kadang bisa sabar tetapi kadang juga
emosional. Seperti nasi liwet bunga telang, yang kadang berwarna biru pekat
namun tak jarang sedikit pudar.
0 Komentar