https://slaterzurz.com/wp-content/uploads/2016/03/Bullying-Lawsuit.jpg

Beberapa waktu yang lalu, selama dua minggu Aro berada di rumah kakek neneknya. Sesuatu yang diinginkannya cukup lama. Angan-angan bisa bertemu dengan teman-teman lamanya dan bermain di luar sampai puas membuatnya sangat gembira. Merencanakan banyak hal yang bisa dilakukan dan membawa beberapa mainan yang dimiliki untuk dimainkan bersama di sana. Bersemangat sekali menunggu harinya datang.
Namun, ketika sudah di rumah kakek neneknya, Aro bertemu dengan kenyataan yang berbeda. Teman-teman yang dibayangkan hampir semuanya tidak terlihat. Jalan depan rumah kakeknya yang dulu ramai dengan anak-anak bermain, lengang sekarang.

Tenyata permainan mereka sudah berubah. Tidak lagi bermain kelereng, bola, atau mengulur layang-layang. Anak-anak usia sekolah dasar atau menengah pertama di desa tempat tinggal ortu saya memiliki kegemaran baru. Duduk di warung sambil memegang smartphone. Mereka bisa berjam-jam di sana, bergerombol dua sampai lima anak. Entah melihat apa. Warung-warung dengan wifi mulai menjamur tanpa pengawasan. Desa berubah. Sepetinya romantisme tentang desa mohon harus dipikirkan ulang hehehe.


Tersisa seorang anak saja yang dikenal Aro. Si Fulan. Kebetulan sore itu ia sedang bermain dengan seorang anak tetangga desa. Aro pun bergabung. Awalnya mereka bermain bersama, sampai saya melihat Aro duduk sendirian di pinggir gapura pagar.

Ketika saya bertanya, jawabnya hanya dia tidak berhasil mencari teman-temannya. Mereka sedang bermain petak umpet dan Aro yang jaga. Karena teman-temannya tidak muncul, dia menunggu. Saya mencoba mengajaknya masuk dan menjelaskan mungkin temannya sudah pulang, tidak bermain lagi sebab sudah mau magrib.

“Tetapi mereka tadi tidak bilang kalau pulang, Nda. Katanya aku disuruh jaga di sini sampai bisa menemukan mereka”.

Esok paginya, mereka kembali bermain bola bertiga sebab hari Minggu. Tiba-tiba, Aro mendatangi saya dan bilang kalau bolanya masuk pekarangan rumah tetangga yang ditakuti anak-anak sana. Aro meminta tolong saya mengambilkan. Ketika saya bertanya dimana teman-temannya, Aro hanya bilang mereka pulang. Tetapi saya paham karakter Si Fulan sebab sering mengamatinya.

Merunut kondisi tersebut, saya pun diam-diam mengamati mereka saat bermain bersama sore harinya. Secara usia, Aro paling kecil sebab dua lainnya adalah siswa kelas 4 SD. Ternyata kejadian seperti sore sebelumnya terulang. Bermain petak umpet dan Aro disuruh mencari atau menunggu sampai mereka keluar. Mereka berdua sembunyi di dalam rumah Si Fulan yang tidak memungkinkan Aro untuk masuk ke sana. Di dalam rumah, mereka asyik bermain berdua sampai magrib dan teman Si Fulan dijemput pulang kakaknya. Saat lewat di depannya,  Aro sempat bertanya mengapa sembunyi di rumah, ia meleletkan lidah dan bilang rasain!

Saya yang diam-diam mengamati, sempat emosi sebenarnya tetapi memilih diam. Persoalan ini adalah persoalan Aro, bukan saya. Entah berapa kali pemahaman itu saya paksa masuk ke pikiran hanya agar tetap tenang. Saya paham kalau ini perundungan. Usia yang terpaut 4 tahun dan kenyataan bahwa Si Fulan dulu adalah anak paling kurus dan kecil diantara teman-temannya sehingga sering dijadikan bulan-bulanan.  

Kejadian itu pun menjadi bahan obrolan kami sebelum tidur. Bagaimana Aro melihat situasi yang dialami, bagaimana perasaannya, juga mencari solusi. Usulan serampangan saya agar tidak bermain bersama Fulan membuatnya sempat menangis tersedu.

“Dia temanku, Nda. Aku mau bermain sebab teman-temanku yang lain sudah tidak ada”.

Saya kembali menjejalkan mantra bahwa ini persoalan Aro, bukan persoalan saya. Bagaimana dia menghadapi situasi ini adalah langkah awal untuk bisa menghadapi persoalan yang mungkin lebih berat lagi ke depannya. Tugas saya sebagai ibu hanya mendampingi dan menguatkan. Bukan untuk mendikte ini dan itu. Mudah secara teori tapi...fiuh.

Ketika mereka bermain esoknya, saya sengaja berdiri di balik tembok pagar. Sekedar untuk lebih jelas mendengar perbincangan yang terjadi sekaligus agar tidak diketahui sebab akan berbeda bila ada orang dewasa di dekat mereka. Permainan yang dimainkan masih sama. Petak umpet. Aro menjadi penjaga lagi dengan sistem ditunjuk, bukan hompimpa. Hal sama pun terulang. Mereka masuk rumah Si Fulan. Aro memanggil berkali-kali, dan mereka hanya tertawa sambil meleletkan lidah dan masuk rumah kembali.

Aro sempat menengok dan saya pun mengangguk menguatkan. Saat-saat krusial bagi kami berdua. Dia pun menghampiri dan memanggil mereka. Bertanya apakah  masih mau bermain bersama atau tidak. Pemandangan yang cukup menarik. Bukan karena melibatkan anak saya, lebih kepada melihat bagaimana anak-anak itu mencoba menyelesaikan persoalannya tanpa campur tangan orang dewasa. Melihat seorang anak yang meski secara usia jauh lebih muda, bertanya dengan jelas tanpa nada marah mungkin tidak biasa bagi anak-anak itu. Mereka pun terdiam dan bersepakat bermain bersama.

Rencana kami sebenarnya hampir gagal ketika ayah saya muncul. Berniat mengajak Aro pergi dan tidak usah bermain lagi. Untungnya bisa dicegah. Ternyata, kakek neneknya diam-diam juga memperhatikan. Mereka tidak terima cucunya diperlakukan seperti itu dan berkeputusan potong kompas saja hehehe. Mereka juga tidak habis pikir dengan saya yang terkesan “membiarkan” Aro dipermainkan. Kok tega, istilahnya.

Pelajaran berharga bagi perjalanan hidup Aro dan saya sebagai ibunya. Bila bertemu, Aro tetap menyapa tanpa beban apa-apa meski dia memilih melakukan kegiatan lain dan tidak bermain bersama lagi (baru akhir-akhir ini saya tahu idenya dari Serial Daniel Tiger). Bagi saya pribadi, berharap apa yang kami lakukan bisa memutus rantai perundungan. Banyak dari kita mahfum bahwa perundungan yang terjadi adalah hasil dari pengulangan apa yang dialami seseorang di masa lalunya. Bila tidak diputus, hanya akan semakin memperpanjang kisah-kisah perundungan yang lain.

2 Komentar