Menerima Kesedihan
![]() |
Beberapa waktu yang lalu, selama
dua minggu Aro berada di rumah kakek neneknya. Sesuatu yang diinginkannya cukup
lama. Angan-angan bisa bertemu dengan teman-teman lamanya dan bermain di luar
sampai puas membuatnya sangat gembira. Merencanakan banyak hal yang bisa
dilakukan dan membawa beberapa mainan yang dimiliki untuk dimainkan bersama di
sana. Bersemangat sekali menunggu harinya datang.
Namun, ketika sudah di rumah
kakek neneknya, Aro bertemu dengan kenyataan yang berbeda. Teman-teman yang
dibayangkan hampir semuanya tidak terlihat. Jalan depan rumah kakeknya yang
dulu ramai dengan anak-anak bermain, lengang sekarang.
Tenyata permainan mereka
sudah berubah. Tidak lagi bermain kelereng, bola, atau mengulur layang-layang.
Anak-anak usia sekolah dasar atau menengah pertama di desa tempat tinggal ortu
saya memiliki kegemaran baru. Duduk di warung sambil memegang smartphone. Mereka bisa berjam-jam di
sana, bergerombol dua sampai lima anak. Entah melihat apa. Warung-warung dengan
wifi mulai menjamur tanpa pengawasan. Desa berubah. Sepetinya romantisme
tentang desa mohon harus dipikirkan ulang hehehe.
Tersisa seorang anak saja
yang dikenal Aro. Si Fulan. Kebetulan sore itu ia sedang bermain dengan seorang
anak tetangga desa. Aro pun bergabung. Awalnya mereka bermain bersama, sampai
saya melihat Aro duduk sendirian di pinggir gapura pagar.
Ketika saya bertanya,
jawabnya hanya dia tidak berhasil mencari teman-temannya. Mereka sedang bermain
petak umpet dan Aro yang jaga. Karena teman-temannya tidak muncul, dia
menunggu. Saya mencoba mengajaknya masuk dan menjelaskan mungkin temannya sudah
pulang, tidak bermain lagi sebab sudah mau magrib.
“Tetapi mereka tadi tidak
bilang kalau pulang, Nda. Katanya aku disuruh jaga di sini sampai bisa
menemukan mereka”.
Esok paginya, mereka kembali
bermain bola bertiga sebab hari Minggu. Tiba-tiba, Aro mendatangi saya dan
bilang kalau bolanya masuk pekarangan rumah tetangga yang ditakuti anak-anak
sana. Aro meminta tolong saya mengambilkan. Ketika saya bertanya dimana
teman-temannya, Aro hanya bilang mereka pulang. Tetapi saya paham karakter Si
Fulan sebab sering mengamatinya.
Merunut kondisi tersebut,
saya pun diam-diam mengamati mereka saat bermain bersama sore harinya. Secara
usia, Aro paling kecil sebab dua lainnya adalah siswa kelas 4 SD. Ternyata kejadian
seperti sore sebelumnya terulang. Bermain petak umpet dan Aro disuruh mencari
atau menunggu sampai mereka keluar. Mereka berdua sembunyi di dalam rumah Si
Fulan yang tidak memungkinkan Aro untuk masuk ke sana. Di dalam rumah, mereka
asyik bermain berdua sampai magrib dan teman Si Fulan dijemput pulang kakaknya.
Saat lewat di depannya, Aro sempat bertanya
mengapa sembunyi di rumah, ia meleletkan lidah dan bilang rasain!
Saya yang diam-diam
mengamati, sempat emosi sebenarnya tetapi memilih diam. Persoalan ini adalah
persoalan Aro, bukan saya. Entah berapa kali pemahaman itu saya paksa masuk ke pikiran
hanya agar tetap tenang. Saya paham kalau ini perundungan. Usia yang terpaut 4
tahun dan kenyataan bahwa Si Fulan dulu adalah anak paling kurus dan kecil
diantara teman-temannya sehingga sering dijadikan bulan-bulanan.
Kejadian itu pun menjadi
bahan obrolan kami sebelum tidur. Bagaimana Aro melihat situasi yang dialami, bagaimana
perasaannya, juga mencari solusi. Usulan serampangan saya agar tidak bermain
bersama Fulan membuatnya sempat menangis tersedu.
“Dia temanku, Nda. Aku mau
bermain sebab teman-temanku yang lain sudah tidak ada”.
Saya kembali menjejalkan
mantra bahwa ini persoalan Aro, bukan persoalan saya. Bagaimana dia menghadapi
situasi ini adalah langkah awal untuk bisa menghadapi persoalan yang mungkin
lebih berat lagi ke depannya. Tugas saya sebagai ibu hanya mendampingi dan menguatkan.
Bukan untuk mendikte ini dan itu. Mudah secara teori tapi...fiuh.
Ketika mereka bermain
esoknya, saya sengaja berdiri di balik tembok pagar. Sekedar untuk lebih jelas
mendengar perbincangan yang terjadi sekaligus agar tidak diketahui sebab akan
berbeda bila ada orang dewasa di dekat mereka. Permainan yang dimainkan masih
sama. Petak umpet. Aro menjadi penjaga lagi dengan sistem ditunjuk, bukan
hompimpa. Hal sama pun terulang. Mereka masuk rumah Si Fulan. Aro memanggil
berkali-kali, dan mereka hanya tertawa sambil meleletkan lidah dan masuk rumah
kembali.
Aro sempat menengok dan saya
pun mengangguk menguatkan. Saat-saat krusial bagi kami berdua. Dia pun menghampiri
dan memanggil mereka. Bertanya apakah masih mau bermain bersama atau tidak. Pemandangan
yang cukup menarik. Bukan karena melibatkan anak saya, lebih kepada melihat
bagaimana anak-anak itu mencoba menyelesaikan persoalannya tanpa campur tangan
orang dewasa. Melihat seorang anak yang meski secara usia jauh lebih muda,
bertanya dengan jelas tanpa nada marah mungkin tidak biasa bagi anak-anak itu.
Mereka pun terdiam dan bersepakat bermain bersama.
Rencana kami sebenarnya hampir
gagal ketika ayah saya muncul. Berniat mengajak Aro pergi dan tidak usah
bermain lagi. Untungnya bisa dicegah. Ternyata, kakek neneknya diam-diam juga
memperhatikan. Mereka tidak terima cucunya diperlakukan seperti itu dan
berkeputusan potong kompas saja hehehe. Mereka juga tidak habis pikir dengan
saya yang terkesan “membiarkan” Aro dipermainkan. Kok tega, istilahnya.
Pelajaran berharga bagi
perjalanan hidup Aro dan saya sebagai ibunya. Bila bertemu, Aro tetap menyapa
tanpa beban apa-apa meski dia memilih melakukan kegiatan lain dan tidak bermain
bersama lagi (baru akhir-akhir ini saya tahu idenya dari Serial Daniel Tiger).
Bagi saya pribadi, berharap apa yang kami lakukan bisa memutus rantai
perundungan. Banyak dari kita mahfum bahwa perundungan yang terjadi adalah
hasil dari pengulangan apa yang dialami seseorang di masa lalunya. Bila tidak
diputus, hanya akan semakin memperpanjang kisah-kisah perundungan yang lain.
2 Komentar
Ganbatte .... 🙏
BalasHapusTulisan yg bagus. 👍
Terima kasih apresiasinya
BalasHapus