Tentang Membaca
“Mba, mbok yao Aro diajari membaca”, kata Mak Ti suatu hari. “Saya tidak
rela kalau dia diejek sama anak-anak
lain. Diajari mbaca ya, Mba”.
“Lha, memangnya ada apa ?”
Mak Ti pun bercerita
kejadian yang terjadi di rumahnya sore kemarin saat Aro disana. Aro biasa
bermain ke tempatnya saat sedang di Kediri. Banyaknya anak-anak dan beberapa
hampir seusia membuatnya betah bermain
berjam-jam. Mereka bermain apa saja. Meski pun ada perbedaan bahasa yang
digunakan, namun anak-anak tesebut tidak menganggapnya sebagai masalah. Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jawa silih berganti terdengar dalam
percakapan.
Entah bagaimana awalnya, beberapa
anak meminta Aro untuk membaca. Mereka mengeluarkan buku dan alat tulis yang
biasa di bawa ke sekolah. Mereka semua sudah bersekolah di taman kanak-kanak
kecuali Aro tentunya hehehehe. Kemampuan
berbahasa Aro lumayan, baik dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, namun
dia belum bisa menulis atau membaca kalimat panjang. Entah bagian apa, ada kata
yang Aro tidak tahu dan menjadi bahan olokan seorang temannya. “Makanya sekolah
agar bisa membaca!”
Mendengar ucapan tersebut,
Mak Ti sontak memarahi anak tersebut. Saya hanya tersenyum dan mengiyakan mendengar
ceritanya. Mak Ti adalah tukang masak sekaligus orang yang mengasuh Aro saat
dia bayi merah. Kedekatan dan hubungan erat ini membuat emosinya tersulut saat
melihat anak asuhnya diejek temannya.
Memang berbeda sekali pergaulan
Aro ketika di Depok dan di Kediri. Di Depok, belum bisa membaca bukan suatu
masalah dan memang tidak ada yang mempermasalahkan. Teman-teman komunitasnya
pun banyak yang belum bisa membaca lancar. Mereka juga (hampir semuanya) tidak bersekolah
formal. Berkebalikan dengan kondisi di Kediri. Keseharian anak-anak diisi
dengan bersekolah disusul les lalu mengaji. Atmosfer berkompetisi terasa kuat.
Jamak melihat orang tua memaksa anaknya untuk les ini itu. Bermain bebas masih
bisa dilakukan anak-anak disana, tetapi sangat sedikit porsinya. Bermain dalam
pandangan orang dewasa umumnya di sana adalah tidak belajar dan membuang-buang
waktu. Bermain bukan belajar dan itu berlaku pada semua anak, mulai dari yang
duduk di TK sampai SMA.
Saya memilih santai
menanggapi hal tersebut. Apalagi ketika berbicara dengan Aro mengenai kejadian
tersebut dan mendapatinya biasa saja.
“Aku bisa membaca kok, Nda. Aku sudah bisa menulis namaku
sendiri”, saya pun mengiyakan.
Saya cenderung santai dalam menemani
perjalanannya mengakrabi dunia membaca ini. Alih-alih mengajarinya membaca, saya
memilih menunggunya merasakan kebutuhan tersebut. Saya percaya bahwa anak-anak
pada dasarnya memiliki keinginan belajar alamiah.
Seperti yang diungkapkan
John Holt pada bukunya, How Children
Learn, “Ketika anak-anak belajar dengan cara mereka sendiri, mereka akan
belajar lebih cepat dan efektif dari yang kita ajarkan”.
Saya mengamini ungkapan
tersebut karena mencoba mempraktikkan. Tidak mengajarinya atau
mendorong-dorongnya belajar membaca (mentang-mentang tidak sekolah hehehehe).
Keingintahuan akan huruf apa
saja yang merangkai namanya lalu bisa menuliskannya adalah kondisi awal Aro
tertarik membaca dan menulis. Saat itu usianya lima tahun. Hampir selama dua
minggu, kegiatan menulis nama dilakukan. Menulis namanya di mana saja, di
secarik kertas, pada buku, bahkan pada selebaran kuisioner sebuah warung makan.
Terlihat senang dan bangga meskipun guratan garisnya belum sempurna atau bahkan
hurufnya tidak menyerupai yang dimaksud. Tak jarang dia juga mengeja namanya A-R-O,
aro dengan bersenandung.
Pengalaman bisa menulis nama
membuat kepercayaan dirinya tumbuh. Apalagi saat Aro merasakan kebutuhan untuk
bisa mengetik sendiri judul film kegemarannya di mesin pencari pada kanal youtube. Awalnya, saya akan menulis di
secarik kertas untuk disalinnya. Lama kelamaan, kebiasaan tersebut berganti
dengan saya hanya mengeja huruf dan dia mengetiknya sendiri. Kegiatan yang
terlihat sepele dan bermain-main namun sesungguhnya proses Aro belajar membaca
menulis menurut saya. Tidak terkesan kaku dan dia pun merasa nyaman
menjalaninya.
Meskipun tidak mengajarinya
membaca, namun saya cukup rajin membacakan buku. Dulu saya memilih buku-buku
dengan banyak gambar menarik, namun sekarang tidak lagi. Saya membiasakannya
membacakan buku yang minim gambar tapi banyak teks. Sempat ragu mengubah jenis
buku-bukunya, tetapi ternyata dia tidak masalah bahkan beberapa menjadi
kegemarannya. Buku-bukunya pun tidak melulu buku cerita, ada buku kumpulan
puisi juga.
Aro belum bisa membaca lancar
sebuah buku. Tidak masalah dan biasa saja. Tetapi, kami membangun kebiasaan
membaca dan membawa buku kemana saja.
0 Komentar