Karena Rahasia
Menjadi perantau, tidak mengirim
anak ke sekolah formal, kebutuhan akan lingkungan dan pertemanan yang positif, adalah
beberapa alasan saya bergabung dalam sebuah komunitas bemain tiga tahun lalu.
Satu kegiatan mingguan yang kami lakukan ya bermain, namanya juga komunitas
bermain hehehe. Kami menyebutnya playdate.
Eits, tidak hanya sekedar bermain lho tapi tema dan apa yang dipelajari
didiskusikan bersama antara anak-anak dan orang tua dalam komunitas ini.
Di komunitas ini kami
belajar banyak hal. Sedih, senang, konflik bahkan salah paham kerap mewarnai,
terutama pada anak-anak. Berkomunitas tidak melulu menyenangkan karena ada ego
yang harus didamaikan untuk mencapai kesepakatan. Walaupun porsi sukanya lebih
banyak hehehe
Kami juga belajar bagaimana
menjadi orang tua. Kadang, ada masalah yang baru selesai ketika ortu turun
tangan sebagai fasilitator. Hal yang menurut saya menarik karena ini melatih
kami, anak dan ortu, untuk menyelesaikan masalah dengan dewasa dan terbuka.
Anak butuh untuk didengar suaranya, dipahami permasalahannya. Juga memberi kami
– ortu – kesempatan belajar untuk tidak mudah berprasangka, menghormati anak,
dan menjadi ‘orang dewasa’ sebenarnya. Memahami dan menyelesaikan konflik
sampai benar-benar selesai dan tidak nggrundel
di belakang atau menelan kejengkelan.
Saya sepakat dengan ungkapan
yang mengatakan bahwa “...butuh orang sekampung untuk mendidik seorang anak”.
Saya menyadarinya dari sebuah pengalaman di komunitas ini.
Ceritanya dimulai ketika Aro
dan beberapa temannya belajar wushu seminggu sekali. Ini kali pertama saya
‘menyerahkan’ Aro kepada seorang guru, kami memanggilnya koko. Kami beradaptasi dengan
situasi baru. Aro juga belajar bagaimana mendengarkan dan mengikuti arahan koko
yang baru dikenalnya sekaligus berinteraksi dengan anak-anak lain dalam suasana
latihan. Belajar bertekun dalam latihan selama hampir 2 jam. Jelas ini berbeda
dengan bermain dan berinteraksi bebas seperti kebiasaannya selama ini. Saya
sendiri belajar menerima kehadiran seseorang menjadi guru si bocah. Ternyata
saya pun perlu latihan hehehe.
Belajar memang tidak pernah lempeng. Selalu ada cerita yang
mewarnai. Diantara anak-anak yang latihan wushu, ada satu anak dengan karakter
yang berkebalikan dengan Aro, kita sebut saja CJ. Yang satu menginjak lima
tahun, dan lainnya memasuki enam tahun. Usia ingin didengar, keinginan
menunjukkan kepercayaan diri, ingin berkegiatan tanpa kita temani. Dua anak ini
sering berselisih paham menjadikan suasana latihan tidak kondusif. Yang satu
mudah sekali terganggu dengan suara-suara keras, yang lain senang sekali
berteriak-teriak. Yang satu tidak nyaman bila melakukan apapun dikomentari,
yang lain senang sekali berkomentar dan melihat reaksi yang dikomentari. Yang
satu terlalu serius dan yang lain senang sekali bercanda. Maksud baik menghibur
dan menyemangati bisa berujung pada tangisan dan wajah sedih. Si Koko sudah
habis akal.
Aro sendiri sudah hampir
putus asa, dalam bahasa Jawa, mutung, tidak
mau meneruskan latihan. Kami pun bersepakat untuk latihan sampai akhir bulan
itu saja.
Tetapi, kenyataan berbeda.
Pada latihan berikutnya, Aro bilang kalau dia mau meneruskan latihan. Mengapa ?
Tidak apa-apa, jawabnya waktu itu. Saya hanya mengiyakan saja.
Mulai ada perubahan sikap
padanya memang. Tidak lagi terlalu risau dengan CJ meski berteriak atau
bercanda tentang sesuatu. Begitu pun dengan CJ. Reaksi berbeda yang ditunjukkan
Aro ternyata menuai perubahan sikapnya juga. Pelan namun pasti, mereka berdua
dalam ayunan bandul latihan dengan ritme sama. Latihan wushu tetap berlanjut
sampai sekarang. Yay!
Tenyata ada rahasia dibalik
ayunan bandul ini. Bu W, ibu CJ, menjadi aktor penting peubahan suasana latihan
ini. Ia memilih untuk berbicara dengan Aro dan CJ dalam kesempatan yang berbeda.
Dia pun ngobrol dengan CJ tentang
latihan, kebersamaan, empati, dan entah apa lagi. Intinya berharap suasana
latihan bisa berjalan lancar. Obrolan lancar
namun tidak dalam praktiknya. Dia tetap senang berteriak dan Aro pun semakin senewen. Suasana latihan tidak ada
perubahan.
Entah karena apa, Bu W pun
akhirnya memutuskan mengajak Aro berbicara. Empat mata. Meminta pertolongan Aro
untuk ikut membantu menyelesaikan masalah agar latihan nyaman. Teman saya
meminta Aro bertahan untuk tetap latihan meski mendengar teriakan, dan dia
berjanji akan terus mengingatkan CJ untuk mengurangi teriakannya. “Ini misi kita
berdua ya”, kata teman saya pada Aro.
Mendengar cerita ini saya
pun tertegun. Kerelaan hati orang dewasa untuk ngobrol dan meminta bantuan kepada anak usia lima tahun direspon
dengan tulus. Tidak ada yang merasa rendah dan direndahkan.
Ketika saya bertanya kepada
Aro tentang peristiwa ini dan alasan dia tidak bercerita, dijawab dengan
singkat.
“Karena rahasia”.
1 Komentar
He3x.
BalasHapus