Di Museum Kereta : Belajar dari Generasi ke Generasi
‘Wah, luas dan panjang ya
jalannya!’ sorak Si Bocah di jalan masuk ke dalam area museum. Segera saja dia
berlari kesana kemari. Kadang jauh ke depan namun beberapa saat kemudian
kembali berlari ke arah kami.
Beberapa waktu lalu, Si
Bocah berkunjung ke museum kereta di Ambarawa bersama kakek dan neneknya. Melihat
keanggunan besi tua yang memukau dan cukup terawat. Kakek, nenek, dan cucu beda
generasi itu sama-sama bersemangat dan menikmati berada di sana meski berbeda
kesan yang dibawa.
Kakek dan neneknya teringat ketika
masa-masa sekolah dulu. Naik kereta api yang masih menggunakan kayu jati sebagai
bahan bakarnya. Kayu yang digunakan untuk merebus air yang sangat banyak
sehingga uapnya bisa menggerakkan lokomotif. Untuk anak laki-laki, sering
dimintai tolong memasukkan kayu atau menarik tuas di gerbong, cerita kakeknya. Alhasil,
kerap turun dengan muka penuh angus/jelaga dan baju sedikit berlubang-lubang kecil
karena terpercik api.
Sedangkan Si Bocah, anak
yang lahir saat kereta sudah nyaman dan serba digital, lebih sibuk berlarian
dari satu benda ke benda yang lain yang aneh dan belum pernah dilihatnya sambil
bertanya apakah ini apakah itu.
Hal menarik adalah melihat
Si Bocah belajar dari dua generasi yang berbeda.Yang satu generasi dengan teknologi sebagai sarana belajarnya dan yang kedua generasi dengan pengalaman pernah menggunakan dan paham bagaimana bentuk kereta dulunya.
Saat itu, Si Bocah tertarik
dengan sebuah alat. Mesin pencetak tiket. Ketika saya membacakan berdasarkan
keterangan yang tertera, dengan pasti dia mengatakan bahwa mesin pencetak tiket
tidak seperti itu.
‘Mesin pencetak tiket itu
seperti komputer, Bunda. Kita mengetik dulu lalu keluar tiketnya.’
‘Itu mesin pencetak tiket
yang sekarang. Kalau dulu, belum ada komputer, masih manual’.
‘Manual ?’ Di saat-saat
seperti itu sejujurnya saya pun menemui kesulitan menjelaskan. Bersyukur hidup
di masa teknologi telah berkembang pesat sehingga memungkinkan akses informasi
lebih mudah. Untung ada youtube hehehehe. Ayahnya memperlihatkan video yang
menayangkan bagaimana cara mesin
pencetak tiket itu bekerja. Si Bocah dan saya pun mendapat gambaran lebih jelas
di sini.
![]() |
Genta PJL dan Mesin Pencetak Tiket |
Hal berbeda adalah ketika Si
Bocah meminta penjelasan kakeknya. Kali ini adalah tentang meja putar. ‘Namanya
meja tetapi kok tidak ada kakinya ? Ini
ada lubang dan relnya juga?’ sekilas saya dengar perbincangan mereka.
Kakeknya – yang memang
pernah merasakan secara nyata naik kereta uap – ini bercerita, ‘Kalau dulu,
kabin masinis itu hanya satu di setiap lokomotif. Jadi, kereta tidak bisa bisa
mundur. Jalannya maju terus. Ketika akan berbalik arah, maka lokomotif tersebut
harus memutar melewati rel berbentuk lingkaran yang dinama sebagai meja putar
ini.’ Sambil bercerita, beliau memperagakan bagaimana sebuah lokomotif berjalan.
Entah Si Bocah mengerti atau tidak, yang pasti dia ikut berputar dan berkata o
cukup panjang.
![]() |
Meja Putar |
Saya tidak tahu seberapa
banyak hal berkesan yang masuk dalam ingatan Si Bocah balita ini. Saya lebih
memilih mengamati reaksinya dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan saja. Mengajaknya
melihat-lihat sekeliling. Kadang dia terlihat tertarik namun kadang lebih
memilih mengejar burung-burung gereja di atas rerumputan atau malah mengajak
bermain petak umpet di sela pintu-pintu yang lebar.
Bagi kami, ortunya, yang
terpenting adalah berusaha memberinya kesempatan mengenal banyak hal. Memberinya
sebuah kesan dan kenangan indah yang akan dibawanya sampai masa dewasa kelak. Kenangan
kebersamaan dengan kakek neneknya, kenangan akan museum, atau apapun. Bukan memenuhinya
dengan segala macam informasi dan data sebanyak-banyaknya (memory not recall). Ada saatnya, bila memang tertarik, dia akan
mencari tahu dengan lebih serius.
Seperti kata Einstein, ‘Education is not the learning of facts, but
the training of the mind to think’.
0 Komentar