Terinspirasi atau Terintimidasi ?
Pernah mengalami situasi
dimana kita tidak tahu mau apa selain membukai halaman-halaman website atau
blog tentang sesuatu? Niat awalnya adalah mencari inspirasi namun
ujung-ujungnya tidak kemana-mana dan tidak melakukan apa-apa. Alih-alih terinspirasi malah terintimidasi.
Saya pernah mengalami
masa-masa itu. Seharian di depan komputer untuk mencari aneka ide tentang
aktivitas bersama anak usia balita. Terutama yang berbau keterampilan dan seni
sebab saya cukup lemah untuk kegiatan seperti itu.
Seharian saya ‘sibuk’ yang
sebenarnya tidak menghasilkan apapun. Padahal sudah banyak sumber belajar saya
bukai.
Pinterest, blog, sampai
website. Bagus-bagus semua ide yang muncul. Mulai dari yang kreativitas sederhana
sampai rumit. Namun, pada akhirnya saya tetap di depan komputer dan mengabaikan
Si Bocah. Sibuk namun sebenarnya tidak sibuk sama sekali.
Kalau pun ada kegiatan yang berhasil
saya tiru idenya, hasilnya kurang maksimal. Tidak instagrammable hehehe....Karya saya dan Si Bocah bukan sesuatu yang
menarik untuk difoto apalagi dipajang di
sosmed. Mengenaskan.
Selanjutnya, saya akan merasa
kesal dan marah dengan diri sendiri. Seharian mondar-mandir tanpa melakukan apa-apa
dan Si Bocah hanya melongo saja melihat saya. Duh...
Situasi yang tidak sehat dan
yang pasti tidak boleh berlarut-larut. Saya pun ngobrol dengan ayah Si Bocah tentang kondisi ini. Mencoba kembali
kepada visi misi awal ketika kami
memutuskan melakukan pendidikan kepada anak secara mandiri. Menengok filosofi
apa yang kami usung bersama. Mengacu kepada tiga pertanyaan ini.
Bertumpu kepada tiga
pertanyaan tersebut, saya menata kembali cara memandang suatu hal terutama
dalam pola pengasuhan. Belajar tidak mudah tergiur, menerima sesuatu lebih rasional,
tidak emosional, serta mempertanyakan akan kesesuaian dengan visi misi
pengasuhan setiap menerima sesuatu hal.
Seperti saat-saat melihat
brosur diskon sebuah wahana atau mainan edukasi untuk anak (maunya grab it fast or never hehehe) atau saat
melihat teman melakukan sesuatu yang waw dan keren sekali bersama anaknya. Agar
tidak mudah terombang-ambing dan bingung atau terjebak pada tren saja (jebakan
batman).
Meski kadang realitanya
godaan untuk membukai sumber-sumber belajar pengasuhan sangat besar. Apalagi kalau
sudah melihat gambar-gambar menarik penuh warna hasil dari ide keren dan
tangan-tangan trampil. Rasanya huhuhu sekali.
Kalau sudah begitu, alarm
pun berbunyi. Segera saya beranjak mematikan komputer dan bermain suka-suka
dengan Si Bocah. Melakukan apapun yang disukai dengan gembira. Tidak khawatir
akan hasil yang entah nanti seperti apa, yang penting kami berproses bersama.
Anak-anak sebenarnya tidak
pernah menuntut membuat sesuatu yang ‘bisa dipamerkan’ saat berkegaiatan. Mereka
lebih senang akan kehadiran dan kebersamaan bersama kita. Terutama untuk anak
usia dini. Mereka mencintai dan menerima kita sebagai ortunya tanpa pernah
memberlakukan syarat dan ketentuan apapun.
Hanya kadang, ego kita
sebagai ortu muncul. Jebakan untuk mendapatkan yang terbaik, yang ter-waw atau
sejenisnya kerap kita melupakan esensi pendidikan apa yang seharusnya kita berikan. Kadang kita terjebak pada
penilaian orang tentang kita. Kadang kita terseret ambisi menjadi yang paling
baik. Kadang kita masuk jebakan batman.
Mengasuh dan mendidik anak
bukanlah pertandingan siapa paling bagus atau siapa paling berprestasi. Bukan pula
seperti adu lari cepat. Mengasuh dan mendidik anak adalah amanah untuk mengantar anaknya menjadi
bagian masyarakat yang bermanfaat kelak.
Sebagai ortu, pengasuhan dan
pendidikan anak adalah tanggung jawab kita. Entah yang melakukan pola
pengasuhan dan pendidikan secara mandiri atau pun memasukkan anaknya ke sekolah
formal sebab Tuhan menitipkan mereka kepada kita. Kalau pun memang ada guru, kita
tetap tidak bisa lepas tangan dan membiarkan mereka menanggung tanggung jawab
sepenuhnya akan proses pendidikan anak kita.
0 Komentar