Pribadi Perasa
Memutuskan mengasuh dan
mendidik anak secara mandiri membuat saya intens memperhatikan banyak hal di Si
Bocah. Termasuk perkembangan emosi dan karakternya. Mudah sekali perasaannya tersentuh
oleh sesuatu. Bila ketidaknyamanannya itu memuncak, dia akan menangis
tersedu-sedu dan membahasnya berulang-ulang dalam banyak kesempatan. Si Bocah
termasuk kategori anak perasa. seperti ini
Tidak hanya kata-kata yang
bermakna peyorasi saja yang kerap membuatnya tidak nyaman dan galau. Cerita
yang mengandung kesedihan atau gambar-gambar berwajah murung pun membuatnya
resah.
Kerap ketika membacakan
cerita, bila ada kalimat-kalimat yang mengandung kesedihan saya mengubahnya
dengan kalimat netral atau bahkan melompatinya dulu. Suatu kali, saya mencoba
membacakan cerita yang sebenarnya berakhir gembira. Namun, ada saat si tokoh
cerita mengalami kemalangan. Si Bocah diam tidak berkomentar atau protes, namun
wajahnya terlihat murung dan airmata menggenang di pelupuknya.
Begitu pula ketika kami ke
kebun binatang. Sebelumnya kami sempat ke Taman Safari dan dia cukup senang
dengan aneka satwa yang berkeliaran. Tertawa melihat serombongan zebra dengan cueknya bergerombol di tengah jalan
meski sudah diklakson berulang kali. Namun, rona murung dan tangisannya pecah
ketika berjalan-jalan ke Ragunan dan melihat seekor gajah yang dikurung
sendirian. Terus bertanya mengapa gajahnya dikurung dan sendirian. ‘Gajahnya
pasti sedih. Tolong, Bunda. Tolong dilepaskan’, rengeknya.
Namun, pribadi perasa itu
pun tidak melulu murung. SI Bocah memiliki karakter periang dan mudah sekali
tertawa meski baru saja menangis semenit yang lalu. Kerap Si Bocah tertawa
terpingkal-pingkal ketika melihat perilaku Barney dan teman-temannya yang sedang
bermain lompat tali atau pun menyentuh daun-daun pohon cemara. Luar biasa
mengakrabi situasi seperti ini.
Saya memiliki kecenderungan
bertipe koleris. Cukup banyak yang mengatakan keras kepala dan ngeyelan. Tidak jarang pula yang
berpendapat saya kaku dan terlalu serius (selera humornya buruk). Bertemu dan berinteraksi dengan pribadi
Si Bocah, membuat saya banyak belajar kembali (edisi curhat hehehehe).
Tidak
sekedar belajar sabar, namun juga memahami dan berkompromi dengan perbedaan
yang ada. Saya pun belajar menerima dan mendukung pribadi perasa ini tumbuh dan
berkembang. Kalau emosi terpancing dengan sifat perasanya, ambil nafas dan
berhitung sampai sepuluh baru memberi respon. Atau kadang melambaikan bendera
putih ke Si Ayah yang lebih kalem hehehehe.
0 Komentar